SRI SUGIASTUTI
Tahun demi tahun aku jalani hidup di bawah bimbingan ibu
kandung dan orang tua angkat di sebuah rumah mewah. Saat aku genap usia 7 tahun, aku didaftarkan di SD oleh
ibu kandungku. Di tahun inilah aturan demi aturan diberikan oleh kami berdua (
ibu kandungku dan aku ). Kegiatan rutinku bangun tidur diantaranya, menyapu
lantai ( saat itu sudah mulai bisa bersih-bersih rumah) ngepel, mandi, dan sarapan.
Sejak aku sekolah, aku tidak pernah diberi uang jajan, dan juga tidak pernah bawa bekal,
yang penting sudah sarapan. Pulang sekolah, makan siang, bersih-bersih kaca
jendela, menyapu lantai, ngepel lagi. Pekerjaan malam hari,menyiapkan makan
malam orang tua angkatku, membantu ibu cuci piring. Itu lah kegiatan rutinku
dari hari ke hari.
Di tengah perjalanan hidupku yang ikut orang,
terkadang muncul masalah kecil. Karena
masalah itu, Ibu mengajakku pulang kampung. Akupun tak bisa menolak. Kami
berdua pulang dengan membawa uang yang selama itu kami kumpulkan seadanya, saat
itupun aku juga diberi uang saku,tapi besarannya berapa juga tidak pernah
tanya. Ibuku yang menyimpan.
Aku masih ingat,
ketika aku berumur 10 tahun. Tepatnya
awal tahun 1979 aku naik kelas IV SD,
pindah sekolah di kota tempat aku dilahirkan. Sesampainya di kampung, ibuku
mendaftarkan aku ke SD . Lokasinya sangat dekat dengan rumahku, jalan kaki
cukup 5 menit.
Sebagai murid baru aku berusaha bersikap baik. Teman-teman
baruku di kelas sangat terpesona denganku. Maklum, saat itu aku memang punya
wajah yang putih bersih, berambut panjang. Jadi, ya wajar banyak kakak kelas
yang mengejar-ngejarku. Terkadang aku sampai ketakutan, masuk rumah orang untuk
sembunyi. Kejadian itu sering terjadi saat bel istirahat atau pada jam pulang
sekolah.
Sampai saat ini yang masih kuingat namanya mereka. Ada Joko, Ismanto, Singgih dan
kawan-kawan. Singgih, salah satu temanku juga masih kuingat wajahnya yang imut,
tapi dia pendiam. Ya, aku kembali teringat karena teman sekantorku ternyata
kenal dia, bahkan katanya masih saudara.
Kupandangi rumah itu masih seperti dulu. Tidak berubah
sedikitpun. Rumah dengan suasana yang sepi, sunyi, bak tak berpenghuni. Ada banyak
kenangan masa kecilku bersama nenek, bibi
dan pamanku.
Sore hari ketika sedang berada di luar rumah, ada
teman sebaya menghampiriku.
“Kamu pulang terus, atau sementara?” tanya temanku penuh selidik
”Belum tahu,” jawabku singkat
Sungguh, ini pertanyaan yang pertama kali aku dengar
ketika kami baru saja tiba di rumah. Di
usia 10 tahun aku sudah agak berani bersikap ketika ada sebagian orang
mengatakan bahwa aku anak tidak punya bapak. Cibiran demi cibiran aku rasakan
saat itu. Sungguh sangat menyakitkan!
Suatu ketika aku sedang berjalan, ada salah satu teman
sebayaku mengejek, namanya Sutimah.
” Eh kamu, anak ndak
punya bapak!” teriaknya kencang.
Seketika itu pula aku merasa sesak di dada. Padahal
selama 10 tahun, aku berusaha diam, tidak pernah menanyakan pada ibuku dimana
ayahku. Eh ini ada teman bicara memerahkan telinga dan membuatku marah. Sungguh
tak kusangka, ada teman setega itu.
Langsung
kuhampiri dia, kutanya maksudnya apa.
“Kowe pancen ora
duwe bapak, to! Jawabnya setengah
mengejek.
Aku terbawa emosi, perang mulut terjadi. Dia kutantang
untuk berkelahi. Dia juga pun tidak menolak. Akhirnya kami berkelahi di tempat
yang sudah di sepakati. Kami berdua berangkat terpisah menuju arena
perkelahian. Aku ditemani sahabatku, dia masih saudaraku,. Pukulan demi pukulan
aku arahkan ke dia. Tangannya sempat merobek dasterku yang tanpa lengan. Sampai
akhirnya,dia jatuh karena kutendang kakinya. Posisiku di atas perutnya. Aku duduk di
atas perutnya, kupegangi tangan kanan kirinya hingga dia mengaku kalah. Rasa
marahku terpuaskan.
Aku jadi murid baru lagi di sekolahku yang lama. Di
sekolah ini aku juga punya pengalaman berkelahi dengan anak seorang guru. Sebut saja
Joko namanya.
Bukan masalah karena aku tidak punya ayah, tapi dia memang kurang ajar. Mentang-
mentang dia anak guru, seenaknya saja dia berulah. Dia anak pindahan dari
sekolah lain. Masih satu kota. Mungkin pindah karena sikapnya yang tidak baik.
Dia sering meludahi teman teman perempuan di kelas, termasuk aku. Untunglah
hanya 1 kali dia meludah didepanku. Kali ini tantangan kedua
“Kalau kamu berani,
lawan aku! ” tantangku dengan menahan napas.
“Besok kita selesaikan satu lawan satu. Tidak perlu
main keroyok, cukup kamu sama aku yang menyelesaikan ini,” kataku.
Padahal kami sama-sama baru pindah di kelas itu. Aku
tidak peduli apa akibatnya kalau aku sampai berkelahi. Di dalam pikiranku saat
itu ingin membuatnya jera. Keesokan harinya aku membawa ikat pinggang laki-laki yang lebarnya 8 cm.
Kusembunyikan ikat pinggang di meja laci. Begitu dia datang, aku sudah siap
memegang ikat pinggang yang kubawa dari rumah. Dia mendekatiku sambil mengomel
tidak karuan bahasanya, langsung sabetan ikat pinggang kuarahkan ke mukanya.
Awalnya tidak kena. Dia lari, bahkan naik meja kelas. Dia kukejar, akhirnya kena
juga. Tepat dipunggungnya.
Prak! cukup 1 sabetan. Lumayan,
walaupun 1 sabetan ternyata membuatnya jera seumur hidup. Dia kaget, dan
kesakitan yang akhirnya dia menyerah. Kami dipanggil kepala sekolah. Kami
berdua disidang di ruang beliau. Aku siap dikeluarkan,karena aku yang menghajar
dia. Namun aku salah, ternyata kepala sekolah mengatakan lain. Justru dia yang
dikeluarkan dari sekolah. Aku sendiri tidak tahu. Alhamdullilah, Allah SWT telah melindungi
orang-orang yang benar. .
0 Comments