BU RAHMAN



Sri Sugiastuti

 Siapa Bu Rahman? Beliau guru spiritual Pratiwi.  Mendengar kata spiritual pasti berkonotasi dengan sesuatu kekuatan dari dalam diri agar bisa bangkit atau tetap bersemangat di saat suka atau pun duka. Lalu bagaimana dengan guru spiritual Pratiwi? Apakah penting baginya punya guru spiritual. 

Peristiwanya sudah lama. Tepatnya saat Pratiwi hijrah dari Jakarta ke Sukoharjo. Pratiwi dan keluarga berani hijrah agar  bisa berbakti kepada bapak ibu mertua juga keinginan sang suami si pemimpin keluarga. 

Berbaur dengan tetangga dan lingkungan baru mempertemukan Pratiwi dengan seorang guru ngaji. Beliau bernama Bu Rahman, kalau nama aslinya Fatonah. Kegiatan Bu Rahman selain sebagai ibu rumah tangga, ia seorang guru ngaji keliling dari desa ke desa. 

Pratiwi yang merasa belum pandai mengaji bak mendapat durian runtuh. Tiap hari Rabu malam Bu Rahman mengisi pengajian di majlis ibu-ibu. Pratiwi akhirnya ingin memperdalam belajar mengaji secara khusus. Ia pun bersedia datang ke rumah Bu Rahman tiap Jumat sore. 

Sebenarnya jarak rumah Pratiwi dan rumah Bu Rahman tidak terlalu jauh. Menyeberangi jalan raya, lalu menyusuri pematang sawah, karena memang beda desa. Pratiwi menikmati pemandangan di sekitar, sementara angin sore terasa semilir. Akhirnya Pratiwi sampai di rumah yang dituju. 

Pratiwi berkesempatan menjelajahi rumah Bu Rahman. Rumah asri yang terbuat dari papan dan gedek. Berhalaman luas dengan aneka tanaman keras juga tanaman hias khas desa. Membuat suasana asri, damai dan tenang. Masih ada ya rumah sederhana seperti ini. Dari kejauhan terlihat sumur timba dan kamar mandi sederhana, dan agak jauh lagi Pratiwi melihat gubuk kecil yang membuatnya tanda tanya dan penasaran. 

Ternyata gubuk ukuran 1 meter kali 1 meter adalah jumbleng, tempat BAB. Pratiwi jadi ingat saat KKN di suatu desa pelosok dari Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Tempat yang sangat menjijikkan. Tempat sebagai salah satu alternatif dari pada BAB di sungai. 

Tahun 90an Pratiwi agak kaget karena masih ada lantai rumah yang beralaskan tanah, berdinding gedek. Penyangga genting reng dan usuk pun masih menggunakan bambu. Rumah itu cukup luas, ada papan tulis hitam bertuliskan huruf arab. Beberapa meja dan kursi sederhana yang disiapkan untuk santrinya belajar mengaji. 

Di sudut ruang ada dipan rendah beralas tikar pandan. Tempat itu untuk salat Bu Rahman. Ada juga meja kecil dan beberapa kursi yang tidak layak pakai. Tempat Bu Rahman menikmati teh tubruk dan singkong bakar. 

Sosok Bu Rahman yang dikenal Pratiwi sebagai guru ngaji yang hebat. Suaranya keras dan tegas. Hapalannya bagus. Saat Pratiwi tadarus dan Bu Rahman di dapur membuatkan teh Pratiwi. Dari dapur saat didengar ada ucapan yang salah dia spontan menyambung dengan bacaan yang bena. Khususnya Quran surat Khafi dan Waqiah. Jadi kalau sedang membaca QS Waqiah, Pratiwi selalu ingat guru ngajinya. 

Kehidupan keluarga Bu Rahman yang sangat sederhana seakan menjadi obat bagi Pratiwi yang baru hijrah dari Jakarta dan perlu adaptasi dengan suasana desa. Pratiwi banyak belajar dari Bu Rahman bagaimana seorang istri yang taat pada suami sesuai tuntutan Al Qur’an dan Assunnah. Bagaimana menghadapi mertua, bagaimana bergaul dengan orang desa, juga pemahaman tentang kebiasaan yang ada di desa itu. 

Ada kenangan manis Pratiwi dan Bu Rahman. Saat itu Bu Rahman mengajaknya ke dapur. Pratiwi segera mendekat. Bu Rahman sedang menyalakan tungku kompor yang berbahan bakar kayu campur bambu limbah dari sisa pagar yang rubuh. Pratiwi mencoba menghidupkan agar bara berubah jadi api. Ternyata perlu kesabaran dan teknik tersendiri. Dan hasil air yang dimasak itu saat dicampur teh rasanya agak sangit. 

Pratiwi betah berlama-lama disana. Ia bisa menikmati hasil kebun yang sudah masak dan siap dikonsumsi. Ada sawo, nangka, pisang kepok, jambu juga singkong. Rasanya kebutuhan rohani dan jasmaninya terpenuhi. 

Bu Rahman selain memiliki kebun yang lumayan luas, ia juga memelihara kambing dan ayam. Dua jenis hewan ini memang jadi andalan Bu Rahman untuk menopang ekonomi keluarga.

Membahas masalah hewan ternak, Pratiwi jadi ingat saat ia memberikan 1 ekor ayam jago dan 7 ayam betina dere ( ayam yang siap bertelur). Ayam itu sengaja diberikan sebagai ucapan terima kasih. Setelah bertelur sebagian dijual telurnya, sebagian dierami si induk sampai menetas. Pada akhirnya ayam Bu Rahman jadi banyak. 

Pratiwi pernah juga diberi dari hasil ternak itu. Tetapi ia lebih memilih ayam jago yang bisa dikonsumsi. Biasanya akan dimasak bumbu opor untuk teman makan nasi liwet bersama ibu- ibu di komunitas pengajiannya. Pratiwi sekalian minta tolong Bu Rahman, ia memberi uang bumbu untuk keperluan itu. 

Bu Rahman bukan siapa- siapa Pratiwi, ia mengenalnya sebagai guru mengaji. Tetapi Pratiwi seperti menemukan sisok seorang ibu sekaligus seorang guru kehidupannya. 

Pratiwi mengamati bahwa Pak Rahman sudah tua dan penghasilannya hanya dari sol sepatu. Walaupun pas-pasan, tetapi keluarga mereka adem ayem. Pratiwi diam-diam belajar sabar, belajar menghormati suami, menghormati mertua juga orang lain. 

Cara Bu Rahman mengajar mengaji secara tidak langsung diadopsi. Amalan yang harus dijalani seusai salat dan doa- doa pendek juga secara istikamah hingga kini jadi andalannya. 

Kebersamaan Pratiwi dan Bu Rahman itu sudah berlalu 25 tahun  lebih. Sejak Pratiwi melahirkan anaknya ia harus pindah ke Solo agar lebih dekat dengan tempatnya bekerja. Jarak rumah mertua dengan tempat kerjanya cukup jauh dikhawatirkan ia tidak bisa merawat bayinya dengan baik. 

Sebelum pindah Bu Rahman memberi banyak nasihat kepadanya. Ia diminta agar mempelajari fikih wanita dengan baik. Bu Rahman juga berpesan agar Pratiwi bersabar, bila ada masalah ambillah Al Qur’an dan bacalah dengan terjemahannya. Alquran itu obat, Alquran itu petunjuk dan pegangan hidup. 

Pratiwi sangat bersyukur ia dipertemukan dengan seorang guru yang ilmu agamanya kuat dan bisa mengajaknya ke jalan yang lurus. Apakah yang didapat Pratiwi sudah cukup untuk tameng menjalani kehidupan yang tidak selalu mulus?

Bersambung 


Post a Comment

34 Comments

  1. Wow....pratiwi...ambarwati...tokoh2 wanita..penuh daya dan pesona

    ReplyDelete
  2. Dapet aja ide untuk membuat kalimat ini, "lalu menyusuri pematang sawah, karena memang beda desa". Seakan akan kita sedang berjalan bersama Pratiwi menuju rumah Bu Rahman.

    Salam untuk Ibu Fatonah guru ngaji Pratiwi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Smg Bu Fatonah husnul khotimah dan ilmu yg diajarkan sebagai pemberat amalnya Aamiin YRA

      Delete
  3. Waaw..seakan bersama pratiwi ikut ke rumah bu rahman

    ReplyDelete
  4. wah, guru spiritual yg hebat bisa meluluhkan hati seseorang, kontekstual learning dlm kehidupan

    ReplyDelete
  5. Orang-orang hebat dalam bagian hidup Pratiwi

    ReplyDelete
  6. Wuaahh... baguusss bgt..bikin penasaran..

    ReplyDelete
  7. Penggambaran suasana desa dan suasana batin yang pas

    ReplyDelete
  8. Mantul ceritanya, kisah inspiratif yang sangat keren.

    ReplyDelete
  9. Keren Bunda...luar biasa...👍👍

    ReplyDelete
  10. Luar biasa ibu. Tata Bahasa runtut. Sangat menginspirasi bagi kami yg blm berkarya. Semoga bisa memotivasi ibu yg hebat ini.
    Salam literasi

    ReplyDelete
  11. Bahasanya mudah seakan kita dibawa masuk dalam cerita. Keren bunda...

    ReplyDelete
  12. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya orangnya tak sabaran bu Kanjeng, apakah perlu banyak bersabar?

      Delete
    2. Semua berproses .jgn pertahankan yang kurang baik

      Delete
  13. Mantap bu,apalagi ayam kampungnya yg dere- dere,untuk bibit supaya berkembang.saya mau lanjutkan cerita yang lalu juga.trims bu.

    ReplyDelete
  14. Bersyukurnya pratiwi di kelilingi org2 hebat

    ReplyDelete
  15. Bahagia ya Bun..jika kita punya orang yang selalu mengingatkan di jalan Nya...
    Keren bunda...

    ReplyDelete