PRATIWI


PRATIWI

Oleh : Sri Sugiastuti

Jam pergantian shif jaga hampir tiba. Seorang perawat masih sibuk dengan laporannya sebelum ia pulang. Hari ini paling melelahkan untuk Ambarwati, banyak pasien dengan tingkah aneh yang harus dilayani di rumah sakit. Dia perawat baru yang belum genap 2 bulan bertugas di salah satu rumah sakit di Semarang.

 Tetapi hari ini juga, di tengah kelelahan yang teramat sangat, jantung hatinya bisa berdetak kencang ketika pandangannya beradu dengan salah satu penunggu pasien yang ada di bangsal anak anak, yang baru saja ia kunjungi.
Pandangan mata itu berasal dari seorang pria yang sangat tulus, tampan, dan memesona. Laki-laki itu pun begitu terpesona dengan ketegasan ucapan Ambarwati ketika memberi saran kepada Susilo yang sedang menunggu keponakannya yang dirawat, karena terjangkit typus
.
“ Mas, tolong terus dikompres ya agar suhu badannya cepat turun. Jangan sampai dia kejang, kalau itu terjadi dia bisa lumpuh.” Ambarwati meminta pria tampan itu menjaga si pasien dengan baik

“Iya suster” Jawab Susilo lirih sambil terus memandang Ambarwati. 

Pandangan itu membuat Ambarwati tak berdaya, sosok wajah itu selalu bermain di kelopak matanya. Ternyata Susilo pun merasakan hal yang sama. 

Hubungan mereka pun berlanjut. Singkat cerita, akhirnya mereka pun melanjutkan pada hubungan yang lebih serius hingga ke jenjang pernikahan. 

Maklumlah zaman dulu di tahun 50’an belum ada istilah pacaran seperti zaman modern seperti sekarang ini. Begitulah orang yang hidup di tahun-tahun setelah kemerdekaan, pantang bagi mereka menjalin hubungan dengan lawan jenis dalam kurun waktu yang lama. Prinsipnya, kalau sudah sama-sama cocok ya langsung nikah saja tanpa menunggu waktu untuk lebih mengetahui pasangan masing-masing. Meskipun demikian sudah banyak terbukti, orang-orang zaman dahulu memiliki rumah tangga yang langgeng daripada orang-orang di zaman modern yang identik dengan kawin cerai. 

Ambarwati seorang suster muda yang dibesarkan oleh budenya. Ia sudah yatim piatu. Di saat  dia baru berusia sebelas tahun, ibunya meninggal dunia. Selang beberapa bulan setelah ibu Ambarwati wafat, ayahnya pun menyusul meninggal dunia. Oleh karena itu, Ambarwati hidup dalam bimbingan sang Bude dari jalur ibunya. 

Dibesarkan oleh sanak saudara meskipun memiliki jalur kekerabatan jelas tak seenak bila dibesarkan oleh ayah dan ibu kandungnya sendiri. 
Bersama Budenya, hidup Ambarwati selalu ditekankan untuk bekerja keras, rajin, dan hormat pada siapapun terutama pada orang yang lebih tua. 

Ambarwati selalu ingat dengan  pesan Bude, “Nduk jadi anak perempuan itu berat, kamu harus setiti, gemi, open (bisa mengurus) lan teliti”. Pesan itu pulalah yang akhirnya menjadi pedoman hidup bagi Ambarwati. 

Ambarwati tumbuh menjadi perempuan  tangguh dan punya etos kerja yang tinggi karena bimbingan budenya yang cukup keras. 
Sikap tegasnya ditampakkan ketika memantapkan hati menerima lamaran dari Susilo meskipun bukan didasarkan atas rasa cinta tapi lebih dikarenakan  tuntutan Budenya agar dia segera menikah.  

Ambarwati ingin membuktikan pada mantan pacarnya yang meninggalkannya karena dijodohkan dengan orangtua, bahwa dia pun bisa melupakan sang pujaan hati.

 Sungguh itu keputusan yang bodoh.  Ambarwati siap menerima resiko apapun atas pilihannya. 
Susilo anak bungsu dari lima bersaudara, sedang Ambarwati anak ke dua dan yatim piatu. Bermodal tekad dan komitmen untuk berumah tangga, pernikahan mereka akhirnya berlangsung sangat sederhana. 

Mereka memutuskan mengambil kontrak rumah kecil yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit tempat
 Ambarwati bekerja. Tahun ke dua setelah pernikahan mereka,  lahirlah buah cinta mereka. Bayi dengan berat 3,3 kg, sehat, dan tentu saja mirip ayah bundanya. Bayi mungil itu diberi  nama Pratiwi.

Karir Susilo mengharuskan mereka hijrah ke Jakarta. Saat itu Pratiwi belum genap berusia 1 tahun.

 Ambarwati  bisa langsung pindah ke Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo ( RSCM) Karena ayah bunda Pratiwi  bekerja,  maka sejak kecil ia  diasuh oleh buleknya, adik bungsu bundanya yang mulai beranjak dewasa.

 Dia lah yang paling paham tentang tingkah laku dan kesukaan Pratiwi dibanding dengan ayah bundanya.

Keluarga kecil iitu untuk sementara  numpang di rumah Kakak iparnya yang tinggal di daerah Salemba. Tak berapa lama mereka pindah ke rumah kontrakan gedeg (rumah yang dindingnya berbahan triplek atau sejenis anyaman bambu), berlantai tanah, dan terletak di pinggir sungai Ciliwung. Saat itu, sungai Ciliwung masih sangat bersih sehingga banyak aktifitas yang terjadi di sana

Karena keadaan rumah yang lembab, Pratiwi kecil sempat menderita cacingan. walau bundanya suster (sebutan untuk perawat) ia memang  sempat terkena penyakit cacing gelang. Penyebabnya   karena kebiasaan minum susu pakai botol, suka ngesot di tanah, dan keadaan yang jorok.

Perut Pratiwi kecil sempat  membuncit dan ketika diobati dengan Upixon obat cacing yang paling top markotop saat itu. Cacing gelang yang ada di perutnya terbasmi sudah dan keluar dengan sendirinya bercampur dengan tinja. Konon antara tinja dengan cacing lebih banyak cacingnya. Saat itu usia Pratiwi masih balita. 

“ Ibu aku pamit ya!”  Suara anak Pratiwi yang mau bekerja mengagetkan Pratiwi yang sedang asyik di depan laptop.

“Ya, fii amanillah Nak,” balas Pratiwi sambil menyodorkan tangannya, dan si anak bersegera meraih dan mencium tangan Ibunya.

Pratiwi ingin melanjutkan tulisannya, tetapi pikirannya jadi bercabang. Begitu banyak agendayang harus dikerjakan hari ini. Ia pun menutup tulisan itu dan disimpan di folder tersendiri. Ia bisa melanjutkan kapan ia mau. 

Ahh, mengenang masa lalu itu punya rasa nano-nano. Butuh keikhlasan kesabaran, dan tidak boleh Baper.



Post a Comment

49 Comments

  1. Bagus Pratiwi....
    (bersambungkah?)

    ReplyDelete
  2. Jadi penasaran..mana pratiwi ya.. Bunda.. Ditunggu kelanjutannya

    ReplyDelete
  3. Mg mnjadi anak yg soleha, dibawah bimbngn dan role ayah bundanya..wait..

    ReplyDelete
  4. Jadi teringat akn masa kecilku, diusia 8 th q sudah jadi anak yatim. Tapi ttp semangay walaupun hidup dg keprihatinan, tetap semangat.

    ReplyDelete
  5. Replies
    1. Pak Elan.apa kabar? Semangat ya semoga bukunya laris manis

      Delete
  6. Bunda nih memang blogger sejati, ga ada habis ceritanya ya.. Selalu mengalir....

    ReplyDelete
  7. Siap menunggu kelanjutan ceritanya Bun...keren...

    ReplyDelete
  8. Ada saja idenya bunda, ....literat sejati

    ReplyDelete
  9. Lagi tegang bacanya,hbs deh.tarik nafas dulu.

    ReplyDelete
  10. Menarik sekali Bunda alur ceriteranya, seperti air mengalir.

    ReplyDelete
  11. Sangat inapiratif bun....emang literat sejati dalam segala situasi masih byk ide terlahir

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu Aning apa kabar? Saya hanya menulis spy tidak melupakan sejarah

      Delete
  12. Membaca sambil belajar Bu kanjeng..

    ReplyDelete
  13. Menunggu lanjutan......, kereen👍

    ReplyDelete
  14. Pratiwi kecil kini sdh jadi seorang ibu...
    D tunggu klnjutanya.. Bunda.. Hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ibu yang berusaha menggapai rida Allah dan mengharap husnul khotimah

      Delete
  15. Keren bunda, sehat selalu .Salam rindu dari Karimun

    ReplyDelete
  16. Cerita yang menarik bunda.. ditunggu kelanjutannya hehe..

    ReplyDelete
  17. Bagus...ditunggu kelanjutannya Bunda....

    ReplyDelete
  18. Bunda Kanjeng selalu menginspirasi untuk berliterasi. Salam sehat bunda

    ReplyDelete
  19. Keren.. Ceritanya 🥰🥰👍👍

    ReplyDelete