SUTRISNO



Sri Sugiastuti 

Berita duka kematian Pakde Sutrisno di telinga Pratiwi, tidak terlalu mengagetkan. Sudah hampir dua bulan beliau keluar masuk RS karena penyakit tua, dan juga asam urat yang akut. Saat itu Pratiwi sekeluarga sudah tinggal di luar kota.

Pakde Sutrisno meninggal di usia 75 tahun. Beliau sudah melewati masa pensiun yang cukup lama. Bisa menyaksikan 7 anak kandung dan anak tirinya menikah. Hanya si bungsu Arimbi yang belum menikah padahal usianya sudah 35 tahun saat itu.

Pratiwi dan suaminya bisa takziah, karena dimakamkan di desa kelahirannya. Di sana Pratiwi bisa memberi penghormatan yang terakhir sekaligus mendoakan, agar diampuni dosany dilapangkan kuburnya dan diterima semua amal kebaikannya. Insyaallah. 

Pakde Sutrisno begitu lah Pratiwi memanggil ayah tirinya. Pria beristri dan beranak 5 yang berani menikahi seorang janda beranak 3, Ambarwati namanya. Pakde Sutrisno yang ikut mengawal Pratiwi kecil tumbuh menjadi dewasa. Tidak egois dan bisa berbagi. Seperti Pakde Sutrino yang membagi kasih sayangnya kepada dua istri dan 8 anaknya baik anak tiri maupun anak kandung.

Di mata Pratiwi,  beliau sebagai pahlawan keluarga. Saat itu  zaman masih serba susah di tahun 1965  hingga 30 tahun Soeharto berkuasa. Pakde Sutrisno seorang ABRI yang bisa mengayomi keluarganya. Mungkin dari segi finansial ia tidak banyak menyumbang harta. Beruntung kedua istrinya bisa membantu ekonomi keluarga masing-masing. 

Bude Maria sebagai penjual gado-gado dan rujak juga jualan sayur di rumah sudah sangat membantu ekonomi keluarga. Begitu juga dengan Ambarwati yang berprofesi sebagai 'mantri suntik' yang punya klinik balai pengobatan begitu getol mencari rezeki demi membiayai sekolah ketiga anaknya. 

Pakde Sutrisno hanya menerima gaji murni dari pemerintah. Tidak ada tambahan lain. Gaji itu hak untuk istri pertama yang memiliki 5 anak. Sedang istri keduanya dianggap sudah tidak perlu dibantu dari segi keuangan. Yang dibutuhkan Ambarwati dan anak-anaknya adalah sosok Bapak yang bisa dibanggakan, dan ada saat dibutuhkan. 

Walaupun Pak Sutrisno tidak setiap hari berada bersama keluarga Ambarwati, tetapi bagi mereka keberadaannya lebih dari cukup. Di dalam kehidupan status Ambarwati jelas punya suami dan anak-anaknya ada yang melindungi. Masalah rezeki ia bisa mencari sendiri. 

Pakde Sutrisno orang yang tekun beribadah. Kedua istri dan anak-anaknya diarahkan belajar agama dengan baik. Tidak heran ketika di SD Pratiwi dan adik-adiknya berbaur dengan orang betawi bisa sekolah arab ( Madrasah di siang hari untuk belajar mengaji dan belajar bahasa Arab).

Bu Ambarwati yang saat itu masih Islam KTP karena belum menjalankan salat 5 waktu menginginkan ke tiga anaknya rajin salat dan mengaji. Alhamdulillah semua berbuah manis.

Pratiwi masih ingat bila malam jumat mereka duduk bareng saat usai salat magrib bersama-sama wiridan  dan tahlil hingga jelang isya. Pakde Sutrisno menjelaskan bahwa mendoakan orang tua yang sudah meninggal itu hukumnya wajib dan sebagai tanda berbakti kepada orang tua walaupun sudah meninggal.

Kebiasaan Pakde Sutrisno yang paling berkesan bagi Pratiwi dan adik- adiknya yaitu kebiasaan baiknya salat tahajud di sepertiga malam dan lanjut membaca AlQuran. Beliau juga senang mendengarkan tausyiah dari ustadz kondang pada zamannya Kyai Kosim Nurseha dari Radio Kayumanis.

Sebagai umat Islam, bekal untuk pulang ke akhirat itu harus dipersiapkan sedemikian rumah. Begitu juga dalam hidup di dunia harus hati- hati. Memahami mana yang hak, mana yang bathil. Mengamalkan amar makruf nahi munkar. Semua diajarkan dan diingatkan oleh Pakde Sutrisno.

Saat hari raya Idul Fitri tiba menjadi hari bahagia ketika ia masih anak - anak.Pakde Sutrisno membelikan kembang api, dan mercon banting. Kembang api itu dinyalakan saat malam takbiran. Selain itu Pakde Sutrisno pandai membuat slongsong kulit ketupat terbuat dari janur. Berulang kali, Pratiwi diajari caranya. Tetapi karena ia tidak telaten, sampai kini ia tetap tidak bisa membuatnya.

Kata orang punya ayah tiri itu tidak nyaman. Sementara Pratiwi merasa ia sangat beruntung. Walaupun ia memiliki ayah kandung. Karenanya keadaan yang memisahkan dirinya dengan ayah kandung. Ia tidak boleh menyalahkan siapa pun. Ia tetap merasa bersyukur ada Ibu Ambarwati yang perjuangan hidupnya sangat luar biasa. 

Ambarwati menerima paketan hidupnya dengan tegar. Dua pria yang dikirim Allah dalam hidupnya saling melengkapi. Setelah Pratiwi dewasa ibunya baru berkisah dan membuka hatinya, bahwa ia menerima kedua pria dalam hidupnya dengan ikhlas. Walaupun sebenarnya cinta sejatinya telah pergi. 

Bersambung

Post a Comment

36 Comments

  1. Menarik sekali ceritanya, Bunda.. Ini nyata atau fiksi bunda?

    ReplyDelete
  2. Sangat menginspirasi...bunda Kanjeng memang keren dalam mengolah kata menjadi rangkaian cerita yg enak dibaca...

    ReplyDelete
  3. Setiap orang punya pahlawan di hatinya

    ReplyDelete
  4. Syukur dan sabar...
    Kunci hidup bahagia.

    ReplyDelete
  5. Subhannallah dengan Istiqomah dan kesabaran ya...

    ReplyDelete
  6. Subhanallah buk Kajeng, semoga keluarga yang di tinggal selalu di beri kekuatan dan kessbaran ... aamiin

    ReplyDelete
  7. Menjadi hamba yang selalu mensyukuri apa yang ada

    ReplyDelete
  8. Dan akupun mnunggu klnjutannya bunda.. Sngt mnginspirasi.

    ReplyDelete
  9. kisah yang sangat menarik untuk dibaca para orang tua

    ReplyDelete
  10. Penasaran ...latar belakang dari Ambarwati dan Pertiwi..

    ReplyDelete