Masa Tua Ramli

Masa Tua Ramli

Oleh : Sri Sugiastuti

"Yaa Allah... apakah benar dia ayahku? Mengapa baru sekarang aku diberi kesempatan berjumpa dengannya." Berbagai perasaan antara rindu dan rasa bersalah menusuk-nusuk hati Arif yang sudah puluhan tahun tak pernah berjumpa ayah kandungnya.

Diulang berkali-kali video yang ada di layar hape yang tayang 3 hari lalu. Kiriman video itu dari Pak RT di kaki gunung Telomoyo Kabupaten  Semarang Jawa Tengah. Beruntung ada kerabatnya yang bersedia mengantarnya bersilahturahmi memenuhi undangan Pak RT yang ingin membantu warganya.

"Aku akan segera berjumpa dengan sosok ayah yang selama ini hanya aku dengar dari cerita ibu sebelum beliau meninggal." Bisik hati Arif.

Masih jelas terngiang pesan ibunya.

"Rif. Maafkan ibu ya! Ini masa lalu ibu. Ayahmu itu masih hidup. Dia asli dari Makasar. Tetapi ibu ngga tau dimana dia tinggal sekarang. Ibu terpaksa bercerai dengannya, karena dia seorang petualang. Bekerja di perkebunan sawit di Malaysia. Saat itu Ibu sering ditinggal ke luar  Jawa. Akhirnya ibu minta cerai dan menikah lagi dengan duda yang juga bawa anak, yang sekarang jadi saudara- saudaramu.

Sejak ibunya meninggal,  Arif tiada ikhtiar untuk mencari ayah kandungnya. Diterima saja nasib dan kehidupan yang dijalani. Sampai suatu saat ada kiriman video di grup keluarganya.  Ternyata salah satu anggota grup keluarga itu mendapat pesan bahwa ada seorang kakek yang mencari anaknya. Sang kakek sanggup berkisah siapa dia, mantan istrinya juga anaknya. Juga kehidupannya di masa lalu. Pak Ramli nama kakek tersebut.

Akhirnya Arif diantar Pamannya, (adik ibunya) mencari alamat yang dikirim pak RT. Pertemuan itu terjadi di rumah Pak RT. Melihat fisik ayahnya yang sudah berusia 85 tahun, tetapi tidak terlihat pikun, berbicara dengan runtut. Arif sangat bersyukur. Allah masih mengizinkan ia berjumpa ayah kandungnya.

Apalagi ketika Pak RT berkisah bagaimana kehidupan ayahnya di saat menua. Hari- harinya diisi dengan kesibukan menunggu panggilan salat. Berbagi rezeki yang dimiliki, dan menjalankan pola hidup sederhana.

Pak Ramli tidak menikah lagi sejak berpisah dengan istrinya. Ia seorang perantau ulung. Ia pekerja keras dan taat beragama. Ketika dia sudah lelah merantau, ia tinggal di sebuah langgar (musala kecil di pinggir sungai). Hidupnya menyatu dengan alam. Sangat ringan dalam bersedekah, sehingga disayangi oleh tetangga di sekitar rumahnya.

Seiring berjalannya waktu, tak jauh dari langgar ada sebuah masjid. Di masjid itulah yang digunakan untuk Pak Ramli beribadah. Saat menjelang azan subuh, ia datang ke masjid berkomunikasi dengan Pemilik jagad raya, menyampaikan pujian dan bersalawat, mengajak orang untuk segera ke masjid, memenuhi panggilan dan  bersegera melaksanakan salat.

Pak Ramli sangat mementingkan kehidupan akhirat. Saat ia dipertemukan dengan anak cucunya juga dengan keluarga mantan istrinya, ia sangat bahagia. Kerja kerasnya saat ia merantau di Malaysia digunakan di jalan Allah.

"Mau mengakui saya sebagai ayahmu ya? Walaupun sudah lama tali silaturahmi ini terputus. Kita perbaiki. Mana cucuku, ayo antar saya ke ATM dulu," ajak Pak Ramli

Ia ingin memberi uang cucunya. Tetapi mereka ingin segera pulang. Mengingat perjalanan dari Solo ke kaki gunung Telomoyo cukup jauh. Akhirnya Pak Ramli membuka dompetnya.  Ada uang kertas  ratusan ribu yang berjumlah 5 lembar, itu pun sudah hampir lengket di dompetnya.

"Ayo kapan lagi mau kesini? Urusan dunia mudah, dunia itu kecil, yang penting kita jaga untuk kehidupan akhirat." Sepertinya Pak Ramli paham apa yang ada di otak anaknya si Arif yang berprosesi sebagai tukang batu dan hidup pas-pasan.

Ada sebersit harapan baru di hati Arif. Ia bisa berbakti kepada ayahnya, sekaligus bermimpi, siapa tau ada warisan yang bisa diterima sebagai anak dari Pak Ramli.

" Alhamdulillah aku masih punya ayah. Ada ladang amal
Ibadah yang bisa kugarap," Arif bernapas lega dan menyusun rencana untuk masa depannya.

Post a Comment

8 Comments

  1. Lanjutan di tunggu ,bagus Bu kanjeng terima kasih telah berbagi cerita yang sangat luar biasa

    ReplyDelete
  2. Dunia merupakan ladang untuk kampung akhirat. Subhanallah mantap bun

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih banyak hamba Allah yang taat dan berharap rida Allah

      Delete
  3. Kisah menarik, Bu. BTW saya sedikit terganggu di dialog tag Ibu. Maaf, lho.😊

    ReplyDelete