Catatan Bincang Buku Batch 2 RVL 25 Januari 2023
Oleh : Sri Sugiastuti
Bertugas sebagai moderator untuk kegiatan Bincang Buku yang digagas oleh Pengurus Rumah Virus Literasi (RVL) menjadi agenda utama saya sebagai Pegiat Literasi, sekaligus pengurus RVL. Tentu saja kegiatan ini menjadi sangat istimewa walaupun dikemas melalui zoom (daring) karena selain menghadirkan Penulis buku yang diperbincangkan, Kami juga didampingi oleh founder RVL. Beliau Bapak Much Khoiri yang lebih akrab dengan pnggilan Pak Emcho, Blantik Literasi, atau juga kadang si Dulgemuk yang memiliki dedekasi yang tinggi untuk memberi pencerahan sekaligus menuntun para penulis pemula ke jalan yang lurus. Mengapa? Karena Pak Emcho tidak hanya mengajak, tetapi juga memberi arahan baik teori maupun praktik. Dan ini sangat dibutuhkan oleh para penulis yang ingin naik kelas atau belajar menulis berbagai genre yang ada di dunia literasi.
Tak dipungkiri kalau Pak Emcho sebagai penulis 65 buku, seorang dosen, motivator juga sering menjadi juri lomba kepenulisan memilih sosok Bangkit Prayogo yang buku dan penulisnya dihadirkan secara zoom untuk anggota RVL dan juga umum secara gratis. Mas Bangkit atau Penulis buku puisi ini masuk nominasi 10 besar Apresiasi Penulis Buku, acara GTK GCC yang diadakan dinas pendidikan Propinsi Jawa Timur. Kegiatan ini memiliki durasi 2 jam. Tepatnya pukul 19-21 WIB pada Rabu ke 4 tanggal 25 Februari 2023. Seperti yang tertera di flyer.
Bincang buku malam ini menurut saya sangat unik. Pak Emcho selaku founder RVL langsung membuka acara ini dan memperkenalkan sosok penulis yang sudah hadir di layar zoom.
Tentu saja saya bersegera membacakan biodata Mas Bangkit sang penulis Buku Kumpulan Puisi “ Pada Suatu Mimpi Aku Abadi” dari judulnya saja sudah sangat puitis dan pastinya banyak mengundang tanya kira-kira isinya seperti apa.
Nah ini biodata Mas Bangkit Prayogo
Bangkit Prayogo lahir di Kediri Tanggal 30 Mei 1992, Kumpulan puisi tunggalnya yaitu Jurnal Demensia di Waktu Amnesia tahun 2017 terbitan Komunitas Masyarakat Lumpur, Wira Carita Panu Kawan nominasi 10 besar manuskrip puisi Dewan Kesenian Jawa Timur tahun 2017. Antologi bersama di Pekan Kebudayaan Aceh Barat dengan buku Pasie Karam 2016, salah satu sajaknya terpilih dalam antologi Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta 2016, terpilih dalam buku antologi Sungai Cimanuk 2016 Ketika Burung-burung Kini Telah Pergi dan juara harapan III lomba cipta puisi Malaysia-Indonesia dengan judul sajak Menanti oleh Komunitas Ruas Melankolia Surat Kematian tahun 2016 dan sajaknya yang berjudul Antonim Kopi Ibu dan Kopi Kafe juga terpilih di antologi penyair kopi tahun 2016 di Aceh, juara favorit ke-6 dalam lomba cipta puisi ulang tahun NU di Maroko dengan judul puisi Tak Ada Langit Berbicara tahun 2016, Sajaknya yang berjudul Aku Masih Tut Wuri Handayani terpilih dalam Antologi Bersama Requem Tiada Henti Se-Asean oleh Dema FTIK IAIN Puwokerto tahun 2017. Cerpennya pernah dimuat di koran lokal yaitu Radar Madura yang berjudul Opus Idas dan Cerita Anak berjudul Tanean Lanjang (lomba cerita anak oleh Balai Bahasa Jawa Timur 2017). Dan tahun 2022 terpilih dalam 10 besar Apresiasi Penulis Buku, acara GTK GCC yang diadakan dinas pendidikan Propinsi Jawa Timur.
Bincang buku mengalir setelah biodata dibacakan. Awalnya saya mengira Mas Bangkit akan berkisah tentang proses lahirnya buku Kumpulan Puisi tersebut. Ternyata saya salah. Mas Bangkit justru mengawali bintang malam ini dari keberadaannya di dunia ini. Lahir di Kediri, saat masih bayi diajak hijrah oleh orangtuanya ke Bangkalan. Kami lebih asyik mendengarkan bagaimana proses kreatif seorang Bangkit Prayogo sebagai penulis buku puisi. Diskusi ringan ini sangat terasa hangat. Saya ikut hanyut ketika Mas Bangkit mengisahkan masa kecilnya hingga 27 tahun hidup di Bangkalan. Maaf yang dengan catatan bahwa karakter dan budaya orang Madura yang keras ikut mewarnai masa remaja Mas Bangkit. Tak salah bila sang ayah sudah memberi warning kepada Bangkit kecil “ Kita pendatang jangan cari masalah”. Ia juga menceritakan berangkat dari keluarga yang tidak mampu, tetapi ada satu pesan khusus dari sang ayah “ Kalau kita tidak kaya, setidaknya jadilah orang yang bermanfaat untuk orang lain”. Kalimat almarhum ayahnya ini menjadi pelecut dalam hidupnya.
Masih menyimak apa yang disampaikan Mas Bangkit melalui zoom, latar belakang kehidupannya berbaur dengan orang Madura yang kental dengan kehidupan Islami, saat kelas 2 SD sudah khitan, kebiasaan mengaji setelah magrib dan juga di usia belia sudah melaksanakan puasa Ramadan, semua itu ikut mewarnai kehidupannya ke depan. Ia menyadari kekurangannya di dalam keluarga dan akhirnya terbentuk sifat sensitif. Tidak berani terus terang padahal di dalam hatinya berkecambuk perang batin. Semua dipendam. Ia hanya bisa mengungkapkannya lewat bait-bait puisi. Ia lari ke dunia seni, sastra, dan menulis puisi realis. Mas Bangkit tumbuh dengan pengaruh kebiasaan ayahnya yang sering menyetel kaset lagu-lagu Ebiet G Ade yang sangat puitis, sedangkan di malam hari ia mendengar tetangganya belajar mengaji.
Sejak di bangku SMP ia sudah mulai menulis, menumpahkan semua rasa ‘enek’ yang harus segera ia muntahkan. Ia merasakan ketidakadilan dan akhirnya lahir proses kreatifnya membuat puisi. Mas Bangkit masih ingat saat ia mendapat hadiah buku dari seorang guru. Buku karya sastrawan terkenal W.S. Rendra. Ia mulai melahap isi buku tersebut dan semakin peka dengan lingkungan. Ia pun melahirkan banyak puisi realis tetapi tidak dibukukan, Ia tidak pede. Dibiarkan kumpulan puisinya mengendap. Sampai suatu hari sang istri bertanya Menulis puisi untuk apa bila tidak diterbitkan. Akhirnya kita bisa berselancar atau ke toko buku untuk mendapatkan kumpulan puisi Mas Bangkit yang sudah dibukukan.
Proses menulis sudah dimulai tahun 2009 dan lebih inten di tahun 2016 (bisa dicermati di biodata Penulis)
Pada akhirnya di sesi tanya jawab Mas Bangkit menyampaikan bahwa setiap orang saat berproses menulis puisi itu berbeda. Ada yang bisa kreatif menulis saat sedang di posisi terendah, sedang jatuh cinta, sedang mendapat rezeki yang berlimpah, atau pun sedang gelisah.
Untuk melengkapi catatan ini sebenarnya ada 2 puisi yang dibaca tetapi saya tidak punya naskahnyaa. Dan satu puisi yang berhasil saya kutip silakan dinikmati
TAK ADA LANGIT BICARA
Karya: Bangkit Prayogo
Di sana tak ada langit berbicara
lukisan pembebasan menjerit di hadapan mata
meminta gelombang laut dalam pemburuan
yang tenggelam mati di depan ilusi
Tuhan tak akan diam
melihat tulang-tulang anak kecil beterbarang
di tembok yang berkarat
di tiang-tiang listrik yang berdusta
di depan sebuah caffe yang menjual dosa
Sebuah lagu melayang di hadapanNya
kata mereka, kaulah pengirim kabut-kabut itu
memicing air hujan yang tak berdebu
suatu musim di tahun yang kering
manusia berperang tanpa pikiran
di hatinya adalah gelombang laut yang abadi
Apa kalian tahu siapa yang menderita?
tak ada suara yang bungkam, jika angin menepuk
ratusan malaikat yang dipenggal harapan
cahaya turun dari atas langit
sebuah gerbang berlambang senja menahan tangis
di antara guguran hujan di musim kelabu ini
“Bebaskan aku, Tuhan!” seorang anak gadis menjerit
Di tengah kota yang berhamburan debu air mata
dia melumat doa di dalam jantungya
keabadian itu terletak di antara pelukan
yang menulis kenangan dengan senyum rindu, cinta
dan kedipan mata yang melumat hujan di hatiNya
Di sana tak ada lagi langit berbicara
goresan darah berkobar di dahan pohon cemara
di pagi hari
di suatu masa kusam yang tak bernada elegi
aku dengar jeritan yang menggigilkan mimpi
Di sana, di Aleppo, Gaza, Suriah dan negara yang berpasir api
orang-orang berdiri dalam ketakutan
anak-anak menangis di setiap lagu malam
ibu-ibu menanak nasi dalam rasa kebencian
Tuhan menurunkan cahaya senja, di depan kursi tua
laut tertidur, daun-daun kering terbakar di antara mata
tubuh-tubuh manusia terangkat doa-doa yang putih
Di atas senja yang terakhir kalinya
mereka memeluk seluruh tubuh dengan asmara
tak ada kepala yang penuh dendam di mataNya
kembalilah pada suara itu
kalian akan membeku bersama ilalang lugu
di langit saat pagi membias di sekitar jendela
aku lihat waktu berjalan bersama kabut hitam
menuju jalan langit yang patah dihantam pelukan
selamanya
bersama malaikat yang memeluk tubuh kita
dengan cinta kasih yang terpendam abadi
bernama damai yang tak akan memutih pasi
***
Puisi ini bersumber dari https://numaroko.or.id/home/tak-ada-langit-berbicara/.
Setelah saya berselancar, banyak saya temui karya Puisi Mas Bangkit, yang membuat saya iri. Mengapa tidak belajar menulis puisi sejak remaja. Bila kita cermati dan nikmati puisinya Mas Bangkit pastinya pembaca termotivasi dan terinspirasi. Ternyata menulis puisi bukan satu pekerjaan yang mudah kita harus peka, dan paham ilmunya.
Ada satu pertanyaan yang penting dari peserta mengapa Mr. Emcho memilih sosok Mas Bangkit dan bukunya yang diperbincangkan Jawabannya sederhana saja selain ada juknis dari dewan juri juga unsur kualitas buku, tema, kualitas, dan orisional. Lebih tepatnya unsur penilaiannya seperti di bawah ini. Jadi kelak bila Bapak ibu ditunjuk menjadi juri lmba buku puisi kriteria ini bisa digunakan.
Kriteria Penilaian Lomba
1. Kemenarikan tema yang diangkat (maks 20)
2. Keterpaduan unsur intrinsik (prosa, puisi, drama: maks 30)
3. Keunikan dan kreativitas daya cipta (maks 20)
4. Ketepatan penggunaan bahasa fiksi (maks 20)
5. Orisinalitas (10)
Sebagai penutup bincang Buku, Pak Emcho memberi penguatan. Proses menulis puisi, bila untuk pemula boleh lah “ Tulis saja karena menulis puisi itu selera” Tetapi Kita punya PR untuk membaca buku puisi karya sastra sekelas Chairil Anwar, W.S Rendra, Sapardi Joko Damono, Wiji Thukul, juga karya kelas dunia Seperti Khalil Gibran, William Shakespeare, dan Cummings. Kita juga harus belajar teorinya karena ada art poetika di setiap puisi.
Akhirnya kami pun sampai di penghujung acara. Saya atas nama moderator mengucapkan terima kasih kepada Mas Bangkit, dan Mr. Emcho juga seluruh peserta zoom malam ini yang sudah membersamai acara ini hingga tuntas. Semoga dua minggu ke depan kita bisa jumpa lagi. Salam literasi .
15 Comments
Masyaallah, catatan lengkap dan mencerahkan. Terima kasih Bunda...
ReplyDeleteAlhamdulillah berusaha untuk istikamah
DeleteKeren...berbagi puisi, harus banyak belajar dari Bunda Kanjeng ahlinya 👍👍👍👍👍
ReplyDeleteKeren banget acara itu. Narsumnya juga oke banget. Sayangnya saya tidak ikutan. Terima kasih sharingnya Bu. Salam sehat dan bahagia.
ReplyDeleteSudah lama tidak jadi moderator.. ini catatan untuk arsip RVL
DeleteLuarbiasa mantap sangat inspiratif.....
ReplyDeleteApa kabar Pak. Terima kasih sudah singgah
DeleteSelamat dan semangat atas acara yang bergengsi...
ReplyDeleteSemoga membawa kebermanfaatan.. Aamiin..
Aamiin YRA
DeleteMenjadi catatan yang luar biasa. Terima kasih bunda
ReplyDeleteSami sami
DeleteMakasih sudah membuat catatan bincang buku.. dengan membaca tulisan ini, saya semakin tercerahkan, meski saya sempat mengikuti bahkan dari awal sampai akhir dan tetap setia berada di zoom namun saya memiliki keterbatasan untuk menyerap ilmu yg diberikan pemateri dan master lewat zoom..untuk menyimak lebih mendalam dan mendapatkan manfaat kegiatan ini, saya harus liat kembali recordingnya. Terima kasih Bu Astuti, tulisan ini sangat membantu saya sebagai penulis pemula. Menyerap ilmu semakin mudah. Makasih juga buat master Emcho dan mas bangkit.
ReplyDeleteTerima kasih sudah singgah
Deletekeren pol
ReplyDeleteP0l keren
Delete