REFLEKSI DIRI DI MOMENTUM IDUL
ADHA 10
DZULHIJAH 1441
Sri Sugiastuti
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan bejalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka
datang dari segenap penjuru yang jauh.”
(Q.S. Al-Hajj: 27)
Tepat hari ini
14 tahun yang lalu Bu Kanjeng dan Ibundanya ada di Padang Arafah. Vidio kiriman
sahabat di komunitas pengajian tadi pagi di saat puasa Arafah tanggal 30 Juli
2020. Hari ini bertepatan dengan 9
Dzulhijah 1441. H. Bu Kanjeng tak kuasa menahan tangis. Barisan jamaah yang
tawaf dengan mengikuti protocol Covid-19 membuatnya terharu, sangat berbeda
saat Bu Kanjeng Tawaf bersama keluarganya.
Dalam Vidio itu
tidak ada askar yang menjaga bagian hajar Aswad dantempat yang selalu diburu
jamaah haji. Semua tertata rapi nmengikuti aturan protokol yang berlaku. Pada
akhirnya kegiatan Bu Kanjeng yang lain semppat tertunda.Ia ingin flashback
kejadian sekaligus bagian dari kisahnya berada di titik yang sangat diinginkan
dan didapat atas kemudahan dan izin-Nya.
Musim haji tiba,
terminal keberangkatan dan kedatangan pesawat yang biasa digunakan untuk TKI ke
luar negeri, berganti kesibukannya. Terminal khusus Soekarno-Hatta kali ini
beralih fungsi untuk memberangkatkan jemaah haji Indonesia dari embarkasi DKI.
Walau suasananya tidak seramai sebelumnya, tapi tetap saja kepadatan pengunjung
yang mengantarkan dan yang akan berangkat haji terlihat memenuhi ruang tunggu
di terminal tersebut.
Pikiran Bu
Kanjeng melayang dalam suasana di ruang tunggu. Ya. Ruang tunggu yang dihias
bernuansa bunga warna-warni penuh keceriaan seakan mewakili hati para jemaah
haji yang akan berangkat siang ini. Terlihat perempuan lansia duduk di kursi
roda didampingi kedua anak dan mantunya. Bu Kanjeng teringat sosok ibunya.
Perempuan itu mulai gelisah.
“Ibu mau apa?
Makan roti? Atau mau minum obat?” bisik Bu Kanjeng di telinga ibunya.
“Atau Ibu mau
pipis? Kan pakai pampers. Pipis aja, enggak apa-apa,” bujuknya
Sang Ibu hanya
menggeleng sambil pandangannya menatap ke depan. Di usianya yang ke-69 ia
terlihat sangat rapuh. Ia penderita penyakit degeneratif, pascastroke, DM,
hipertensi, maag akut, juga positif ada hepatitis C. Alhamdulillah, dia lolos
saat tes kesehatan dan jadi jemaah haji. Ia harus membuat surat pernyataan
khusus dengan risiko yang akan didapatinya. Beruntung, ia didampingi anaknya
yang seorang dokter dan sudah tiga kali menunaikan ibadah haji. Sedangkan Bu
Kanjeng, anaknya, menjadi pendamping sekaligus asistennya selama 24 jam. Itu sangat
wajar karena Bu Kanjeng adalah anaknya.
Pidato pelepasan
haji oleh Gubernur DKI yang kala itu dijabat Bapak Sutiyoso menjadi bekal bagi
para calon jemaah haji yang akan terbang langsung dengan pesawat Garuda
berbadan lebar kapasitas 400 penumpang.
Para jemaah
seakan tidak sabar lagi untuk segera naik ke pesawat, mengingat mereka
diberangkatkan H-3 jelang Idul Adha. Sambil menunggu pidato Pak Gubernur
selesai, dua orang pramugari menghampiri kursi roda si Ibu. Tepat pidato
selesai, kursi roda didorong melaju menuju pesawat. Karena tidak ada garda
penyambung, terpaksa Astuti menggandeng sang ibu menaiki tangga pesawat dengan
perlahan-lahan. Setelah di badan pesawat, tongkat kaki tiga sebagai alat
keseimbangan digunakan, dan kursi roda masuk bagasi.
“Bismillahirohmanirohim, Ya Allah, beri
saya kesabaran, kekuatan dalam menjalankan ibadah haji dan mendampingi ibu saya
yang dalam keadaan kurang sehat. Mampukan saya menjalani semua rukun dan wajib
haji di tanah suci. Mudahkan kami berempat untuk bisa beribadah dengan khusyuk,
kembali ke tanah air dalam keadaan sehat.” Di sela zikir dan tahmidnya terucap
doa tersebut dari mulut Bu Kanjeng.
Mereka mendapat
tempat duduk yang tidak terlalu di belakang. Bu Kanjeng mengarahkan
pandangannya ke penumpang lain yang mulai masuk pesawat dan telihat ada
kegaduhan. Maklum, jemaah haji itu terdiri dari berbagai etnik yang berkumpul
di Jakarta. Atau ada pula orang dari luar Jakarta, berhaji lewat Jakarta karena
diurus oleh anaknya yang tinggal di Jakarta. Sesekali pandangan Bu Kanjeng jauh
pada tiap sudut ruang pesawat yang ternyata cukup luas dan nyaman. Pesawat ini
akan terbang selama 8 jam nonstop langsung menuju Bandara King Abdul Aziz,
Jeddah, Arab Saudi.
Bu Kanjeng
melirik ibunya sejenak yang mulai tertidur. Di keluarkannya mushaf kecil. Ia
ingin memulai tadarusnya dari dalam pesawat. Baru selesai di Q.S. Al-Baqarah
ayat 125, terdengar kesibukan pramugari yang mulai membagikan jatah makan malam
untuk para penumpang. Perlahan Bu Kanjeng membangunkan ibunya.
“Bu, bisa tidur
nyenyak, ya? Enggak pusing kan, kepalanya? Itu Mbak Pramugari sudah hampir
datang. Ibu pilih menu apa? Semua enak kok yang menu Indonesia. Minumnya teh
anget tanpa gula, ya? Bujuk Bu Kanjeng pada ibunya yang kadang sering rewel
kalau sudah urusan makanan atau menu yang cocok di lidahnya.
Perempuan tua
itu perlahan membuka matanya. Terlihat wajah letih yang sayu, tapi menyimpan
sejuta harapan untuk menjadi tamu Allah. Hidangan yang diberikan pramugari
segera disantap perlahan, makanan yang tidak disukai disodorkan ke piring
anaknya. Bu Kanjeng dengan senang hati menerima limpahan hibah lauk dari
ibunya.
“Alhamdulillah,
kita sudah selesai makan. Saya mau ke toilet dulu, ya. Setelah itu saya siapkan
obat yang mau Ibu minum, oce?” Sambil mengedipkan mata dan memeluk ibunya, Bu
Kanjeng bergerak meninggalkan tempat duduknya.
Ketika melewati
lorong pesawat berbadan lebar menuju ke toilet, Bu Kanjeng terpana pada deretan
kursi kosong yang ada di bagian tengah. Langsung ingatannya terkoneksi dengan
ucapan Pak Gubernur bahwa penumpang dan petugas haji di kloter terakhir ini
hanya 280 penumpang, padahal kapasitas tempat duduk ada 400 kursi.
“Yes, aku bisa
minta izin Ibu untuk pindah ke kursi kosong yang ada di bagian tengah.” Tak
lama, ia pun sudah sudah bisa selonjor di kursi yang sudah diintainya.
Tangannya menengadah dan berucap, “Terima kasih, ya Allah, aku belum menjadi
tamu-Mu, tapi Kau telah muliakan hamba-Mu dengan kenyamanan perjalanan ini.
Bagiku ini seperti naik bus malam eksekutif yang kosong glondang.” Bu Kanjeng
tersenyum bahagia sambil menghela napas panjang.
Setelah itu, ia
melanjutkan membaca mushaf dengan suara lirih. Baru selesai 2 halaman, Bu
Kanjeng mulai terkantuk. Ia terbangun ketika mendengar suara klutik-klutik dari
lorong belakang dan mencium aroma kopi yang menyelera. Ia harus bergegas menuju
tempat ibunya duduk. Ia paham, pasti Ibu perlu bantuannya.
Tak lama,
setelah para penumpang menikmati snack dan minuman yang disajikan, crew pesawat
memberitahukan bahwa sebentar lagi kami akan tiba di Bandara King Abdul Aziz.
Dari jendela, terlihat pesawat merendah dan gemerlap lampu dari gedung dan
jalan-jalan terlihat sangat eksotis.
“Mbak,
sepertinya ibu ngompol, deh. Pampers-nya bocor,” bisik Astari, adik Bu Kanjeng.
Hidungnya yang tajam tak bisa dibohongi. Aroma bau pesing memang menebar di
sekitar mereka.
Bu Kanjeng
tersenyum sambil tangannya refleks memegang bagian pantat ibunya dan menarik
napas panjang untuk mencari sumber bau yang tidak sedap itu. Ia tidak perlu
bertanya, tapi berpura-pura tidak tahu.
“Nduk,
pampers-nya penuh, Ibu risih,” ucap ibunya.
“Tenang, Bu.
Bentar lagi pesawat landed, nanti di
bandara kita bisa mandi, ganti baju dan salat, ya,” jelas Bu Kanjeng.
“Oke, Mbak, aku
sama Mas Budi yang ngurus bagasi, and you
handle Ibu, ya.” Selalu ada pembagian tugas dalam tim kecil antara Bu
Kanjeng dan adiknya.
Sambil menunggu
bus yang akan membawa mereka ke Mekkah, Bu Kanjeng mengajak ibunya ke toilet,
cuci muka, ganti pampers, dan berwudu. Baru terlihat ada kelelahan di wajah
Ibunya. Bu Kanjeng selalu siap menghiburnya, dan memijat kakinya yang lama
digantung sehingga sedikit agak bengkak.
“Ibu, ayo
bertahmid, berzikir, dan selalu mengingat Allah. Modal kita sabar ya, Bu.
Alhamdulillah, kita sudah berada di tanah Arab, bentar lagi Bus akan membawa
kita ke Mekkah yang sudah dipenuhi oleh berjuta juta jemaah haji yang siap
melaksanankan ibadah haji. Kita jadi bagian dari tamu Allah yang dimuliakan.
Nih, di hape saya sudah langsung masuk sms ucapan selamat datang di Makkah
Al-Mukaromah.” Cara Bu Kanjeng berkomunikasi dan menghibur ibunya memang penuh
perhatian, kasih sayang, dan bantuan karena keterbatasan usia yang sudah uzur
juga kondisinya yang lemah.
Perjalanan dari
bandara ke Mekkah menempuh jarak yang cukup jauh dan membutuhkan waktu 5 jam
dengan berhenti setengah jam di jalan untuk istirahat, salat, dan makan. Di
dalam bus, kami mendapat bingkisan air zam-zam dan kurma yang dikemas dengan
baik. Bus melintasi padang tandus dan berdebu. Sarana jalan tol yang mulus
meperlaju jalannya bus sampai ke maktab tempat mereka menginap selama di
Mekkah.
Bu Kanjeng dan
rombongannya menempati kamar nomor 320 dan berada di lantai 8. Kamar cukup luas
untuk dihuni enam orang. Setelah membereskan barang barang bawaan dan mandi,
mereka segera ka Masjidil Haram, untuk melaksananakan thawaf qudum. Bu Kanjeng
dan adiknya berniat haji dengan haji ifrod, sedang ibunya melaksanakan haji
tamattu. Jadi, sejak di pesawat mereka sudah niat dan berihrom.
Suasana di
Masjidil Haram sudah penuh sesak dengan jemaah haji. Mereka langsung mengambil
tawaf di lantai 3, mengingat kondisi ibunya yang menggunakan kursi roda dan
harus didorong oleh Askar tenaga bayaran yang ada sekitar di Masjidil Haram.
Sebelum memulai
tawaf, tiba-tiba pikiran Bu Kanjeng blank. Matanya menatap Kakbah, dan
airmatanya mengalir deras tak terbendung. Batinnya hanya bisa meratap dan
memuji kebesaran Allah. Astari dan Budi adik iparnya yang sudah ketiga kalinya
berhaji membiarkan Bu Kanjeng menangis sambil berdoa menghadap Kakbah dari
lantai 3, sementara ibunya dalam pengawasan menantunya.
“Ya Allah,
inikah tempat yang menjadi kiblatku selama salat puluhan tahun dan meyakini
keberadaannya? Rumah Allah yang selama ini hanya bisa aku lihat dalam gambar,
tayangan TV, atau sesekali di Youtube. Terima kasih, ya Allah, sudah Kau
segerakan panggilan-Mu menuju rumah-Mu. Ya Allah, dalam angan dan niatku, kalau
itu baru aku wujudkan dalam bentuk tabungan setiap bulan dua ratus ribu.
Insyaallah genap 15 tahun uang cukup untuk biaya ibadah haji setelah ditambah
uang taspen di saat aku pensiun. Ternyata, rencana-Mu tak sama dengan
rencanaku. Kau gerakkan hati adikku dan juga ibuku mengajakku beribadah haji
dalam hitungan bulan. Aku yang merindukan panggilan menjadi tamu-Mu seakan tak
percaya mendengar ajakan itu.” Bu Kanjeng berkomunikasi pada Sang Khalik.
Namun, itu nyata. Kuasa Allah menyegerakan
niat Bu Kanjeng. Adiknya meminta ia mengurus pernak-pernik keperluan orang yang
akan menjalankan ibadah haji. Bu Kanjeng yakin ini semua bukan serba kebetulan,
tapi semua atas izin-Nya, Allah segerakan 15 tahun dari rencana Bu Kanjeng. Di
saat keadaan ekonominya pas-pasan dan kebutuhan empat anaknya lumayan banyak,
Allah beri rezeki dengan kesehatan prima, usianya 45 tahun, bisa mendampingi
ibunya yang sakit. Itulah kehendak-Nya.
Ibadah haji usai
Bu Kanjeng harus bisa mempertahankan apa yang sudah diamalkan di tanah suci.
Berada di Mekkah dan Madinah selama 40 hari, melupakan keluarga dan urusan
dunia jadi titik nol. Saat dia kembali ke tanah air ia harus lebih baik dari
sebelumnya dan menjadikan momentum ibadah haji yang menjadi rukun Islam yang ke
5 sudah dijalankan.
Harapannya Allah
rida dan ikhlas dengan apa yang sudah dijalani BuKanjeng ingin menjalankan
Islam secara kaffah, dan terus berusaha menggapai rida Allah hingga ajal
menjemput.
Catatan Ibadah
Haji Tahun 2006
18 Comments
Semoga tahun depan bisa haji seperti bu Kanjeng
ReplyDeleteAamiin YRA. Refleksi tahun 2006
Deletesemoga tahun depan bisa melaksanakan ibadah haji seperti bu Kanjeng
ReplyDeleteRefleksi tahin 2006
DeleteTawaf jaga jarak, tanpa gelombang di depan kakbah begitu mengharukan...rindunya tak tertahankan....
ReplyDeleteJoss bunda
Haru biru. Bi
Deletewah sangat inspiratif tukisan bu kanjeng, pengin rasa aq segera ke makkah dan madinah seperti bunda (Bahrudin dari Rembang)
ReplyDeleteBanyak berdoa dan luruskan niat insyaallah segera dipanggil
DeleteAlhamdulilah Bu.jengan bisa dampingi orang tua jenengan. Saya hanya dampingi mertua putri. Sy blm bisa menggandeng ibu dan bapak sy ke baitulloh. Smg bisa membadali napakmibi sy utk.haji
ReplyDeleteAmiin YRA karena ibunda juga.saya.dimudahkan bersegera ibadah haji
DeleteSemoga saya dan keluarga segera bisa berhaji...aamiin ya robbal alamin
ReplyDeleteSangat menginspirasi bunda
Aamiin YRA
DeleteYa Allah bunda
ReplyDeleteTerharu
Minta doanya bun
Semoga saya pun bisa segera ke tanah suci
Aamiin YRA usahain bila ada yg pergi haji_ umrah dan pulang haji kita kunjungi dan.titip doa
DeleteYa allah, terharu dan mohon doanya bunda, agar kami disegerakan ke tanah suci. Aamiin YRA.
ReplyDeleteAamiin YRA. Banyak memohon dan berkunjung ke Jamaah yang mau berangkat ibadah haji atau pulang ibadah haji. insyaallah kabul
DeleteMasya Allah. Pengalaman spiritual yg luar biasa bu
ReplyDeleteBerhaji dengan ibunda yang pasca stroke memang mengharu biru
Delete