BERTANAZUL




Sri Sugiastuti

“Bagi mereka yang pernah berhaji mungkin sudah mendengar istilah "tanazul/haji tanazul", atau malah mungkin diantara pembaca termasuk yang mengerjakan haji-nya lewat program tanazul. Kata tanazul sendiri lazim banyak muncul di kalangan sufi yang berarti pengenalan Allah Swt. melalui hati yang langsung terbuka untuk mengenalNya. Sementara pengertian Tanazul dalam program haji adalah proses ibadah haji yang pelaksanaannya diluar jama'ah haji atau tidak berbarengan dengan rombongan haji kemenag. Dengan kata lain memisahkan diri dari rombongan haji kemenag dan melakukan prosesi hajinya bersama kelompok peserta haji tanazul.  Peserta haji tanazul biasanya lebih dulu pulang dibandingkan jama'ah lain” dikutip dari artikel salah satu kompasianers yang berkisah tentang tanazul.

Bu Kanjeng yang berhaji tahun 2006 bersama ibunya yang pasca stroke. Mereka didampingi adik dan suaminya memutuskan bu Kanjeng harus bertanazul yang artinya keluar dari rombongan. Alasannya cukup logis. Kondisi fisik ibunya yang tidak memungkinkan  mabit di Mina. Jadi demi keselamatan dan menghindari hal yang tidak diinginkan, mereka langsung menuju Arafah. Setelah wukuf baru ke musdalifah dan kembali masuk ke kota Mekkah lebih awal. Untuk urusan jumroh diwakilkan dengan membayar orang untuk melakukannya. Untuk kegiatan tersebut Adik bu Kanjeng rela mengeluarkan dana 1000 real saat itu.

Ini merupakan ibadah haji bu Kanjeng yang pertama. Sedangkan adiknya sudah berhaji yang ke-3. Itu sebabnya, ia yang  bertugas mendampingi ibunya menyetujui apa yang jadi keputusan sang adik. Bu Kanjeng flash back mengingat perjalanan hajinya dengan bertanazul saat itu.

Sejak siang ia dan ibunya sudah siap menunggu mobil jemputan yang akan membawa mereka ke luar kota Mekkah menuju Arafah. Mereka menunggu agak lama. Pak Rafi yang ditunggu akhirnya datang juga. Setelah minta maaf atas keterlambatannya mereka pun meninggalkan Mekkah menuju ke flat tempat Pak Rafi dan keluarganya tinggal.

Mobil mereka melaju di jalan raya bebas hambatan yang luas dan mulus. Di kanan kiri terlihat bukit dan rumah-rumah penduduk yang tampak dari kejauhan seperti kotak putih di sana sini. Sementara di sepanjang jalan  sudah terlihat barisan manusia yang berjalan kaki menuju Mina. Begitu juga dengan bus-bus yang dipenuhi penumpang dalam balutan baju ikhram. Bu Kanjeng sempat merinding melihat kejadian ini. Begitu banyak manusia yang punya tujuan yang sama pada hari ini menuju ke Arafah untuk melaksanakan wukuf pada tanggal 10 Dzulhijah.

Untuk tiba di flat pak Rafi hanya butuh waktu 30 menit. Dengan susah payah bu Kanjeng membantu ibunya keluar dari mobil dan menyiapkan kursi roda. Pak Rafi yang berada di samping bu Kanjeng dengan ramah mengatakan;

“Tentunya ibu sudah mengantongi sabar yang banyaknya sejak dari rumah ya! Modal utama orang yang beribadah haji itu ya sabar.” Sungguh ini kalimat hiburan bagi bu Kanjeng agar tidak tersulut emosinya.

Bu Kanjeng paham dengan ucapan Pak Rafi itu. Karena sejak tadi ia mengamati gerak gerik ibunya yang tiada henti mengeluh.

“ Inshaallah pak. “Sabar” saya masih banyak.’flatnya di lantai berapa Pak?” Tanya Bu Kanjeng
“Di lantai 4, Bu, ”jawabnya singkat

“Lantai 4 ???” Saya harus menaiki tangga hingga lantai 4 dengan menggandeng ibu yang sangat lemah dan kakinya terasa kaku?” Batin bu Kanjeng menjerit.

Lahaulawallaquata illa billah.” Rasanya Bu Kanjeng ingin nangis dan berteriak. Mengapa harus transit dulu ke rumah Pak Rafi bukan langsung ke Arafah.

“Pak Rafi, bukannya kita langsung ke Arafah?” Tanya bu Kanjeng bingung
“Tidak bu, ke Arafah masih besok sore. Kita nunggu yang lain. Masih ada yang di Jeddah dan Madinah. Mereka saudara kita yang sudah umroh dan besok bersama -sama wukuf di Arafah agar hajinya sah.

“Kemaren Pak Rafi tidak menjelaskan secara detail kalau harus menunggu dan mampir dulu ke rumah Pak Rafi. Bagaimana saya harus menjelaskan kepada ibu saya? Kalau malam ini masih menginap dulu di rumah Pak Rafi?” Bentuk protes bu Kanjeng terlontar

“Tenang Bu, nanti saya jelaskan ke ibu sepuh. Kondisinya memang seperti ini.” Kalimat pak Rafi sedikitnya bisa menurunkan emosi bu Kanjeng.
Dugaan bu Kanjeng tepat. Ibunya kecewa, terlihat wajahnya, ia menahan kemarahan dan kekecewaan. Bu Kanjeng sangat  hafal dengan watak ibunya. Seandainya di rumah pasti ibunya sudah marah besar diperlakukan seperti ini. Dan akhirnya kemarahan sang ibu ditumpahkan kepada Bu Kanjeng.

“Nduk, kita mau ngapain di sini? Bukannya mau ke Arafah? Lalu ibu harus istirahat di barak sempit seperti ini?” Ibunya memberondong banyak protes.

Shhuutt, jangan keras keras bicaranya…! Ibu dzikir aja ya! Keadaannya seperti ini kita harus sabar yang jelas besok siang kita ke Arafah. Sekarang  menunggu rombongan TKI yang masih dalam perjalanan menuju ke sini.” Hibur bu Kanjeng.

Waktu merambat pelan, hingga malam datang. Satu persatu persatu yang ikut dalam rombongan Pak Rafi bertanazul berdatangan. Keadaan jadi sangat riuh. Bu Kanjeng dan ibunya merasa terganggu dengan pembicaraan mereka yang campur aduk antara bahasa Arab dan bahasa Madura. Kemudian mereka menyalakan Televisi dan memilih channel yang memutar film India. Rasanya lengkaplah penderitaan mereka. Sementara Pak Rafi menghilang entah kemana.

Bu Kanjeng melirik ibunya yang menutupi telinganya dengan bantal dan berusaha tidur. Sementara bu Kanjeng memilih ke luar dari barak. Bangunan berlantai 4 itu menyisakan lantai yang tidak beratap. Bu Kanjeng bisa menatap langit yang dipenuhi bintang, sekaligus cahaya lampu yang bersumber dari beberapa gedung bertingkat yang ada di sekitar flat yang ditempati Pak Rafi dan keluarganya.

Mata bu Kanjeng tertuju pada spring bed usang yang teronggok di sudut barak, di sebelahnya ada rak yang berisi barang barang bekas ada sepatu, tas, buku dan tasbih besar yang terbuat dari kayu. Tak jauh dari rak itu juga ada kran air. Tetiba ada yang membisikkan di hati bu Kanjeng.

“Ayo, laksanakan salat lail! Agar hatimu tenang.” Segera bu Kanjeng masuk ke barak mengambil sajadah dan mukena. Ia berwudhu, lalu menggelar sajadah. Bu Kanjeng menyiapkan hatinya agar bisa salat dengan khusyuk. Ternyata itu tidak mudah. Ketika ia salat justru pikirannya melayang ke mana-mana. Walauoun ia sudah berusaha fokus.

“Ini bagian dari bumi Allah dan sangat dekat dengan tempat Rasululullah berdakwah. Ayo hadirkan Allah dalam salatmu.” Suara hati bu Kanjeng menguasainya
Akhirnya bu Kanjeng bisa salat dengan tenang dan perasaannya menjadi lega. Ia bisa menerima kenyataan yang dialami bersama ibunya saat itu.

“Ini adalah rangkaian ibadah hajimu ya, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda. Kalau kemaren malam kau bisa salat lail tepat di depan Kabbah, itu semua karena izin-Nya. Begitu juga malam ini ketika kau salat di lantai a tas disebuah barak yang beratapkan langit dengan suasana hening, maka nikmatilah,” bisik hati bu Kanjeng yang sangat menenangkan perasaannya.

Selesai salat saya masuk barak dan merebahkan badan yang cukup penat mendampingi ibunya untuk bisa sampai di rumah Pak Rafi,  menunggu rombongan yang lain dan pergi ke Arafah besok sore. ia berusaha memejamkan mata setelah berdoa, dipandangi wajah ibunya yang tidur nyenyak. Sementara di ujung barak  masih mendengar sebagian TKW cekikikan menonton film India. Rupanya mereka tidak mengerti kalau ini sudah larut dan waktunya beristirahat. Mereka asyik dengan telpon genggamnya. Dan sebagian malah ngobrol. Sepertinya ini jadi ajang reuni saling melepas rindu. Akhirnya bu Kanjeng tertidur juga setelah tak mempedulikan lagi suara berisik dari Televisi dan TKW itu.

Pagi merekah di pinggir kota Mekkah. Bu Kanjeng mendorong kursi roda ibunya ke tempat yang semalam digunakan untuk salat lail. Matahari pagi menghangatkan tubuh sang ibu. Sesekali angin segar berhembus menerpa pipinya. Udara bersih dan langit cerah menambah rasa syukur bu Kanjeng pagi ini. Dan yang paling membuat bu Kanjeng bahagia pagi ini, ia melihat ibunya tidak rewel, ada kepasrahan di wajahnya.

Bu bergegas mengambil jatah sarapan s yang disediakan oleh keluarga Pak Rafi. Lumayan enak menunya nasi putih, telur dadar dan oseng buncis yang tidak pedas, walau nasinya agak keras, paling tidak sarapan ini bisa jadi kekuatan  hari ini. Ibunya seperti biasa menyisakan jatah makannya. Ya perut ibunya memang sudah beda. Tidak bisa makan terlalu banyak, tapi mudah lapar. Jadi harus tersedia biscuit, roti, atau sejenisnya yang bisa dimakan ibunya bila sewaktu-waktu ia merasa lapar.

Bu Kanjeng belum berkenalan dengan istri Pak Rafi karena sedang pergi. Pagi ini mereka memperkenalkan diri. Nama istrinya adalah Nurhasanah.Sama-sama dari Madura. Mereka menikah di Mekkah. Mereka dikarunia dua orang anak. Anak Pak Rafi yang sulung baru berusia 5 tahun namanya Alief. Seorang anak laki-laki yang ganteng mirip Pak Rafi yang asli Madura. Sedang anaknya yang ke dua permpuan baru berusia 10 bulan. Bayi itu bernama Latifah. Cantik sekali.Matanya coklat, kulitnya putih, alisnya tebal, dan hidungnya mancung. Saya sempat bengong melihatnya dan tidak percaya kalau itu anak Pak Rafi.

Ketika Bu Rafi masuk ke dalam rumah. Rasa penasaran saya semakin kuat. Saya menghampiri TKW yang ada di dekat saya lalu berkenalan dengannya. Setelah basa basi sebentar, saya langsung menanyakan prihal anak Pak Rafi yang masih bayi itu.

“ Mba, itu anak angkat atau anak kandungnya Pak Rafi? Sepertinya mirip sekali orang Arab ya?” cetus bu Kanjeng.

“ Ah, ibu kayak ngga tau aja. Ini hal biasa di sini.” Jawab si mba lawan bicara bu Kanjeng
“Maksudnya?”Tanya bu Kanjeng belum jelas
“Itu hasil karya majikannya bu.” Jawabnya dengan suara dikecilkan.
“Oh.” Lagi lagi Bu Kanjeng terkejut.
“Jadi Pak Rafi tahu kalau istrinya dihamili majikannya begitu?” Cecar bu Kanjeng yang butuh kepastian.

“Ya, begitulah.”

“Kok bisa ya? Bagaimana perasaan dia sebagai suami kalau istrinya diperlakukan seperti itu oleh majikannya.” Sekali lagi bu Kanjeng mikir yang bukan urusannya.
“Bu di sini selagi ada kompensasinya dan dapat uang, semua baik baik saja.” Penjelasan si mba itu ada benarnya juga pikir bu Kanjeng

“Tapi harga dirinya dimana?” Tanya bu Kanjeng dalam hati.
Ternyata apa yang terjadi di Arab Saudi tentang nasib TKW yang dilecehkan majikannya memang ada. Malah kejadian yang sesungguhnya lebih memprihatinkan.

Bu Kanjeng mendapat pengetahuan sekaligus pembelajaran betapa segala suatu yang sudah kita sepakati dan kita jalani ada risikonya. Tapi selama kita menggunakan buku petunjuk yang diberikan Allah, inshaallah tidak akan tersesat terlalu jauh. Bayangan bu Kanjeng bahwa ini Negara Islam pastti pengamalan agamanya lebih baik. Ternyata tidak. Semua kembali pada manusianya ketika mampukah dia mengendalikan nafsunya, dan sanggupkah dia berpegang pada ajaran agamanya dengan taat pada hukum Allah.

Bu Kanjeng dan ibunya yang memperoleh berbagai cerita miring tentang nasib TKW di Arab Saudi jadi miris. Mereka banyak juga mengerjakan pekerjaan yang makruh bahkan mengarah pada pekerjaan yang haram. Di dunia ini tetap saja yang namanya manusia yang dikejar harta, tahta dan wanita.

Tanggal 9 Dzuhijah siang para pengikut yang masuk rombongan Pak Rafi semakin banyak. Usianya pun bervariasi tapi dari sekian banyak orang yang paling tua ya ibunya bu Kanjeng. Rencananya sore ini mereka harus segera meninggalkan rumah Pak Rafi. Karena menjelang malam jalan menuju Arafah akan ditutup. Jamaah haji dari penjuru dunia akan berkumpul di Arafah sejak pagi hingga sore di padang Arafah.

Mereka diminta untuk bersiap siap sejak bada asar. Tapi sudah hampir dua jam bus yang akan membawa kami ke Arafah belum juga datang. Bu Kanjeng masih bisa menahan diri dan tetap  sabar. Tapi bagaimana dengan  ibunya yang duduk di kursi roda sekian lama? Untuk menghibur sang ibu supaya tidak bosan, bu Kanjeng mengajak ibu berzikir. Lelah berzikir mereka  diajak ngobrol tentang hal-hal yang menyenangkan.

“Ibu, mengapa ngga dari dulu ibadah hajinya pasti bisa lebih puas. Mengapa diajak  sejak 5 tahun yang lalu selalu menolak,” kata batin Bu Kanjeng meronta

Bu Kanjeng bersegera membuang semua pertanyaan konyol itu. Ia sadar berada di tanah suci seperti saat ini bila bukan karena izin-Nya tak akan mungkin terjadi.

“Ayo tunjukkan bahwa dirimu sanggup menjalankan ibadah ini dengan baik. Tidak ada keluh kesah dan penyesalan. Ingat masih banyak rukun dan wajib haji yang harus diselesaikan.” Bu Kanjeng berusaha menyemangatinya sendiri.

Sebelum subuh bu Kanjeng sudah bangun. Membantu ibunya ke toilet dan membersihakan diri. Ibunya harus merasa nyaman agar tidak bermasalah di Arafah. Semua barang dikemasi dengan rapi. Ketika diumumkan bahwa bus yang akan membawa kami ke Arafah sudah siap bu Kanjeng mencari Mas Ridwan supaya membantunya membawa ibu naik ke dalam bus.

Bus yang saya tumpangi adalah bus yang kemaren sore membawa kami ke perbatasan kota Mekkah. Bus tua super dekil of the kummel.
“Pak Rafi tega nian dikau, apa ngga ada bus yang lebih jelek lagi ya.” hampir saja bu Kanjeng keceplosan dan bicara blak-blakan tentang isi hatinya.

“Astaqfirullahalazim, mengapa aku jadi ngga bersyukur?”  Bu kanjeng segera sadar agar bisa menjaga ucapannya.

Dari kejauhan ia melihat ratusan tenda putih tempat jamaah haji mabit. Mereka berbondong bondong sudah menuju Arafah. Sirine ambulan juga meraung raung. Para jamaah haji yang berada di rumah sakit semua dibawa ke Arafah untuk bersama sama wukuf agar rukun hajinya terpenuhi dan ibadah hajinya sah.

Tenda yang akan mereka tempati hampir jadi, sambil menunggu tikar dan perlengkapan lain disiapkan Bu Kanjeng memandangi keadaan di sekitar. Nun jauh di atas  jabal Rahmah,  Ia masih melihat gerombolan jamaah yang memakai baju ikhram menaiki bukit tersebut. Ia pun heran apakah mereka lupa bahwa sebentar lagi waktunya wukuf di padang Arafah.

Ada lagi rekaman di mata dan benak bu Kanjeng di saat menunggu tenda siap sejak turun dari bus. Hukum alam,. di mana ada kerumunan manusia, ada permintaan pasti ada penawaran. Begitu banyak orang yang berjualan di sekitar tempat saya menunggu. Kebanyakan dari mereka adalah para mukimin, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari Yaman. Pedagang dari Indonesia menjual aneka makanan. Layaknya pesta rakyat yang di gelar di pasar malam. Ada orang berjualan rujak, gado gado, sate, dawet, dan aneka makanan yang khas Indonesia tersedia. Rupanya ini kelanjutan dari cara Allah memuliakan ibu dan saya yang suka kuliner makanan rakyat. Di balik kekesalan dan kepenatan kami menunggu tapi masih ada celah bagi kami untuk tersenyum dan merasa seakan tak jauh dari Tanah air.

Akhirnya Mas Ridwan menghampiri  dan membantu bu Kanjeng dan ibunya bisa sampai di tenda. Sementara Bu kanjeng yang mengikutinya dari belakang menyibak semak berduri yang dilewati. Sesekali terasa duri duri kecil mengenai betisnya, ternyata kaos kaki dan baju ikhram pun tembus. Padang Arafah yang dibayangkan ketika  di tanah air ternyata berbeda. Mereka mendapat tenda yang tanahnya tidak rata. Seperti bukit darurat yang baru dibuka, dan  hampir batas akhir wilayah  Arafah.
Bu kanjeng segera mengajak ibu ke toilet terdekat dan berwudhu. Lega rasanya, karena sebelum azan dzuhur berkumandang mereka sudah siap. Sedang di kanan kiri  bu kanjeng para TKW dari seluruh penjuru Arab Saudi berkumpul.

Mereka sebagian masih muda walau ada juga yang setengah baya. Rupanya padang Arafah juga dijadikan ajang reuni bagi mereka, sekaligus tempat bertemu jodoh. Mereka yang sudah melakukan umroh beberapa waktu yang lalu diberi kesempatan oleh majikan mereka untuk berada di Padang Arafah di bulan Dzulhijah agar ibadah haji mereka sah. Bu Kanjeng perhatikan masih saja mereka asyik ngobrol. Tanpa menghiraukan bahwa waktu azan dzuhur segera tiba dan  khotbah wukuf sebentar lagi dimulai.

Azan Dzuhur berkumandang dari masjid Namirah. Para jamaah yang berada di padang Arafah salat jamak taqdim Dzuhur dan Ashar dengan cara di-qashar. Meski  masih berada di Arafah pada waktu Ashar, tetap dianjurkan meringkas salat sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW. Setelah salat inilah jamaah merapat untuk mendengarkan khotbah wukuf dari radio. Dengan bahasa isyarat Bu Kanjeng  minta supaya para TKW itu diam dan khusyuk mendengarkan.

Arafah merupakan tempat yang sangat penting pada ibadah Haji, dimana di Arafah ini jama’ah haji harus melakukan Wukuf. Wukuf merupakan rukun Haji dan tanpa melaksanakan Wukuf di Arafah maka hajinya tidak sah. Suasana di Arafah ketika musim haji bagai  replika di Padang Mahsyar saat manusia dibangkitkan kelak oleh Allah SWT pada hari yang tak diragukan lagi. Saat itu semua manusia sama dihadapan Allah SWT, yang membedakan hanyalah kualitas imannya. Saya pernah membaca bahwa;

“Wukuf secara harfiah berarti berdiam diri. Wukuf di Arafah adalah berada di Arafah pada waktu antara tergelincirnya matahari (tengah hari) tanggal 9 Dzulhijah sampai matahari terbenam dengan berpakaian ihram. Pada saat wukuf disarankan untuk memperbanyak doa sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan. Juga memperbanyak taubat memohon ampunan kepada Allah SWT, sebab saat wukuf adalah saat yang utama untuk berdoa, memohon ampun dan bertaubat.”
Setelah membantu ibunya dengan menunjukkan doa yang harus dibaca dari buku panduan haji yang selalu dikalungkan. Tak bosan dengan telaten bu Kanjeng menjelaskan pada ibunya agar selalu memulainya seperti saat berdoa selesai salat fardu.

“Bu, doanya kita awali dengan istiqfar ya! Mohon ampun pada Allah, lalu lafaskan salawat kepada Nabi Muhammad SAW, berzikir pada Allah, lanjut bersyukur, baru ibu baca  panduan doa yang ada di buku kecil itu, semua sudah lengkap secara umum, setelah itu baru ibu tambahkan doa khusus untuk semua orang yang ibu cintai dan titipan doa saudara kita yang ada di tanah air. Pokoknya ibu ikhlas, syukur dan sabar dengan semua ketetapan Allah, dan yang terpenting ibu mohon bila dipanggil menghadapNya dalam keadaan khusnul khotimah.” Dengan hati-hati bu Kanjeng  menjelaskan pada ibunya. Ia berharap ketika  sedang berdoa nanti bisa lebih khusyuk karena ibnyau juga bemuhasabah dengan Allah.

Bu kanjeng  meminta ibunya menirukan doa yang disunnahkan ketika berada di padang Arafah yaitu; “Laa ilaha illallaah wahdahu laa syarikalah. Lahul mulku walahulham yuhyiwahyumiit, wahua hayyun layamuutu biyadihil khair, wahua’ alaa kuli syaiin qadir.”
Artinya; “Ya Allah tiada tuhan selain Allah yang tiada sekutu bagiNya, segla kerajaan dan segala puji. Dia yang menghidupkan dan mematikan. Ia hidup tidak mati. Di tanganNya, segala kebaikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”(HR Ahmad)

Panas terik bercampur angin yang sesekali agak keras tak mengurangi kekhusyukan jamaah dalam berdoa. Waktu dan tempat yang sangat ijabah untuk memohon pada Allah tidak boleh terbuang. Banyak pesanan doa yang sudah ditulis oleh teman, saudara, dan kerabat yang harus saya tunaikan. Yang terpenting adalah permohonan ampun saya kepada Allah. Sebagai manusia yang tak pernah luput dari dosa. Kadang hati masih kotor, sering berprasangka buruk, dan banyak mengeluh alias kurang bersyukur. Terbayang begitu banyak dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat, hanya Allah yang mengetahui semua itu. Terbayang ketika saya kecil pernah mencuri uang ibu saya di laci, terbayang ketika saya membatalkan puasa tetapi di hadapan ibu dan adik adik saya mengaku puasa, ya begitu banyak dosa besar atau kecil baik yang saya sengaja maupun tidak.

“Ya Allah ampuni dosa-dosakami. Jadikan kami sebagai hambaMu yang taat pada aturan-Mu, Beri kemudahan agar dapat menggapai RidhaMu.” Dada bu kanjeng mulai sesak dengan isak tangis yang tertahan, ia merasa malu di hadapan Allah. Betapa banyaknya nikmat yang sudah diberikan Allah padanya, tetapi  masih sering mengeluh, masih senang pilih pilih ayat ketika beribadah,  belum bisa patuh dengan semua perintah-Nya, maupun larangan-Nya. Berharap sekembalinya  dari Tanah suci,  akan  menjadi manusia yang suci, yang taat pada Allah dan bermanfaat untuk kemasalatan umat Islam.

Selesai berdoa, bu Kanjeng menoleh. Ia perhatikan ibunya juga menangis terharu. Setiap manusia pasti punya pengalaman pribadi dengan Tuhannya. Begitu juga dengan bu Kanjeng dan ibunya. Hanya Allah yang maha mengetahui seberapa besar kadar keimanan hamba-Nya. Sungguh melaksanakan ibadah haji dengan bertanazul itu sangat penuh ibra dan keberkahan.

Post a Comment

0 Comments