Sri Sugiastuti
“Bagi mereka yang pernah berhaji
mungkin sudah mendengar istilah "tanazul/haji tanazul", atau malah
mungkin diantara pembaca termasuk yang mengerjakan haji-nya lewat program
tanazul. Kata tanazul sendiri lazim banyak muncul di kalangan sufi yang berarti
pengenalan Allah Swt. melalui hati yang langsung terbuka untuk mengenalNya.
Sementara pengertian Tanazul dalam program haji adalah proses ibadah haji yang
pelaksanaannya diluar jama'ah haji atau tidak berbarengan dengan rombongan haji
kemenag. Dengan kata lain memisahkan diri dari rombongan haji kemenag dan
melakukan prosesi hajinya bersama kelompok peserta haji tanazul. Peserta haji tanazul biasanya lebih dulu
pulang dibandingkan jama'ah lain” dikutip dari artikel salah satu kompasianers
yang berkisah tentang tanazul.
Bu Kanjeng yang berhaji tahun
2006 bersama ibunya yang pasca stroke. Mereka didampingi adik dan suaminya
memutuskan bu Kanjeng harus bertanazul yang artinya keluar dari rombongan.
Alasannya cukup logis. Kondisi fisik ibunya yang tidak memungkinkan mabit di Mina. Jadi demi keselamatan dan
menghindari hal yang tidak diinginkan, mereka langsung menuju Arafah. Setelah
wukuf baru ke musdalifah dan kembali masuk ke kota Mekkah lebih awal. Untuk
urusan jumroh diwakilkan dengan membayar orang untuk melakukannya. Untuk
kegiatan tersebut Adik bu Kanjeng rela mengeluarkan dana 1000 real saat itu.
Ini merupakan ibadah haji bu
Kanjeng yang pertama. Sedangkan adiknya sudah berhaji yang ke-3. Itu sebabnya,
ia yang bertugas mendampingi ibunya
menyetujui apa yang jadi keputusan sang adik. Bu Kanjeng flash back mengingat
perjalanan hajinya dengan bertanazul saat itu.
Sejak siang ia dan ibunya sudah
siap menunggu mobil jemputan yang akan membawa mereka ke luar kota Mekkah
menuju Arafah. Mereka menunggu agak lama. Pak Rafi yang ditunggu akhirnya
datang juga. Setelah minta maaf atas keterlambatannya mereka pun meninggalkan
Mekkah menuju ke flat tempat Pak Rafi dan keluarganya tinggal.
Mobil mereka melaju di jalan raya
bebas hambatan yang luas dan mulus. Di kanan kiri terlihat bukit dan
rumah-rumah penduduk yang tampak dari kejauhan seperti kotak putih di sana
sini. Sementara di sepanjang jalan sudah
terlihat barisan manusia yang berjalan kaki menuju Mina. Begitu juga dengan
bus-bus yang dipenuhi penumpang dalam balutan baju ikhram. Bu Kanjeng sempat
merinding melihat kejadian ini. Begitu banyak manusia yang punya tujuan yang
sama pada hari ini menuju ke Arafah untuk melaksanakan wukuf pada tanggal 10
Dzulhijah.
Untuk tiba di flat pak Rafi hanya
butuh waktu 30 menit. Dengan susah payah bu Kanjeng membantu ibunya keluar dari
mobil dan menyiapkan kursi roda. Pak Rafi yang berada di samping bu Kanjeng
dengan ramah mengatakan;
“Tentunya ibu sudah mengantongi
sabar yang banyaknya sejak dari rumah ya! Modal utama orang yang beribadah haji
itu ya sabar.” Sungguh ini kalimat hiburan bagi bu Kanjeng agar tidak tersulut
emosinya.
Bu Kanjeng paham dengan ucapan
Pak Rafi itu. Karena sejak tadi ia mengamati gerak gerik ibunya yang tiada
henti mengeluh.
“ Inshaallah pak. “Sabar” saya
masih banyak.’flatnya di lantai berapa Pak?” Tanya Bu Kanjeng
“Di lantai 4, Bu, ”jawabnya
singkat
“Lantai 4 ???” Saya harus menaiki
tangga hingga lantai 4 dengan menggandeng ibu yang sangat lemah dan kakinya
terasa kaku?” Batin bu Kanjeng menjerit.
“Lahaulawallaquata illa billah.” Rasanya Bu Kanjeng ingin nangis dan
berteriak. Mengapa harus transit dulu ke rumah Pak Rafi bukan langsung ke
Arafah.
“Pak Rafi, bukannya kita langsung
ke Arafah?” Tanya bu Kanjeng bingung
“Tidak bu, ke Arafah masih besok
sore. Kita nunggu yang lain. Masih ada yang di Jeddah dan Madinah. Mereka
saudara kita yang sudah umroh dan besok bersama -sama wukuf di Arafah agar
hajinya sah.
“Kemaren Pak Rafi tidak menjelaskan
secara detail kalau harus menunggu dan mampir dulu ke rumah Pak Rafi. Bagaimana
saya harus menjelaskan kepada ibu saya? Kalau malam ini masih menginap dulu di
rumah Pak Rafi?” Bentuk protes bu Kanjeng terlontar
“Tenang Bu, nanti saya jelaskan
ke ibu sepuh. Kondisinya memang seperti ini.” Kalimat pak Rafi sedikitnya bisa
menurunkan emosi bu Kanjeng.
Dugaan bu Kanjeng tepat. Ibunya
kecewa, terlihat wajahnya, ia menahan kemarahan dan kekecewaan. Bu Kanjeng
sangat hafal dengan watak ibunya.
Seandainya di rumah pasti ibunya sudah marah besar diperlakukan seperti ini.
Dan akhirnya kemarahan sang ibu ditumpahkan kepada Bu Kanjeng.
“Nduk, kita mau ngapain di sini?
Bukannya mau ke Arafah? Lalu ibu harus istirahat di barak sempit seperti ini?”
Ibunya memberondong banyak protes.
“Shhuutt, jangan keras keras bicaranya…! Ibu dzikir aja ya!
Keadaannya seperti ini kita harus sabar yang jelas besok siang kita ke Arafah.
Sekarang menunggu rombongan TKI yang
masih dalam perjalanan menuju ke sini.” Hibur bu Kanjeng.
Waktu merambat pelan, hingga malam
datang. Satu persatu persatu yang ikut dalam rombongan Pak Rafi bertanazul
berdatangan. Keadaan jadi sangat riuh. Bu Kanjeng dan ibunya merasa terganggu
dengan pembicaraan mereka yang campur aduk antara bahasa Arab dan bahasa
Madura. Kemudian mereka menyalakan Televisi dan memilih channel yang memutar
film India. Rasanya lengkaplah penderitaan mereka. Sementara Pak Rafi
menghilang entah kemana.
Bu Kanjeng melirik ibunya yang
menutupi telinganya dengan bantal dan berusaha tidur. Sementara bu Kanjeng
memilih ke luar dari barak. Bangunan berlantai 4 itu menyisakan lantai yang
tidak beratap. Bu Kanjeng bisa menatap langit yang dipenuhi bintang, sekaligus
cahaya lampu yang bersumber dari beberapa gedung bertingkat yang ada di sekitar
flat yang ditempati Pak Rafi dan keluarganya.
Mata bu Kanjeng tertuju pada
spring bed usang yang teronggok di sudut barak, di sebelahnya ada rak yang
berisi barang barang bekas ada sepatu, tas, buku dan tasbih besar yang terbuat
dari kayu. Tak jauh dari rak itu juga ada kran air. Tetiba ada yang membisikkan
di hati bu Kanjeng.
“Ayo, laksanakan salat lail! Agar
hatimu tenang.” Segera bu Kanjeng masuk ke barak mengambil sajadah dan mukena.
Ia berwudhu, lalu menggelar sajadah. Bu Kanjeng menyiapkan hatinya agar bisa
salat dengan khusyuk. Ternyata itu tidak mudah. Ketika ia salat justru
pikirannya melayang ke mana-mana. Walauoun ia sudah berusaha fokus.
“Ini bagian dari bumi Allah dan
sangat dekat dengan tempat Rasululullah berdakwah. Ayo hadirkan Allah dalam
salatmu.” Suara hati bu Kanjeng menguasainya
Akhirnya bu Kanjeng bisa salat
dengan tenang dan perasaannya menjadi lega. Ia bisa menerima kenyataan yang dialami
bersama ibunya saat itu.
“Ini adalah rangkaian ibadah
hajimu ya, setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda. Kalau kemaren malam
kau bisa salat lail tepat di depan Kabbah, itu semua karena izin-Nya. Begitu
juga malam ini ketika kau salat di lantai a tas disebuah barak yang beratapkan
langit dengan suasana hening, maka nikmatilah,” bisik hati bu Kanjeng yang sangat
menenangkan perasaannya.
Selesai salat saya masuk barak
dan merebahkan badan yang cukup penat mendampingi ibunya untuk bisa sampai di
rumah Pak Rafi, menunggu rombongan yang
lain dan pergi ke Arafah besok sore. ia berusaha memejamkan mata setelah
berdoa, dipandangi wajah ibunya yang tidur nyenyak. Sementara di ujung barak masih mendengar sebagian TKW cekikikan
menonton film India. Rupanya mereka tidak mengerti kalau ini sudah larut dan
waktunya beristirahat. Mereka asyik dengan telpon genggamnya. Dan sebagian
malah ngobrol. Sepertinya ini jadi ajang reuni saling melepas rindu. Akhirnya bu
Kanjeng tertidur juga setelah tak mempedulikan lagi suara berisik dari Televisi
dan TKW itu.
Pagi merekah di pinggir kota
Mekkah. Bu Kanjeng mendorong kursi roda ibunya ke tempat yang semalam digunakan
untuk salat lail. Matahari pagi menghangatkan tubuh sang ibu. Sesekali angin segar
berhembus menerpa pipinya. Udara bersih dan langit cerah menambah rasa syukur
bu Kanjeng pagi ini. Dan yang paling membuat bu Kanjeng bahagia pagi ini, ia
melihat ibunya tidak rewel, ada kepasrahan di wajahnya.
Bu bergegas mengambil jatah
sarapan s yang disediakan oleh keluarga Pak Rafi. Lumayan enak menunya nasi
putih, telur dadar dan oseng buncis yang tidak pedas, walau nasinya agak keras,
paling tidak sarapan ini bisa jadi kekuatan hari ini. Ibunya seperti biasa menyisakan
jatah makannya. Ya perut ibunya memang sudah beda. Tidak bisa makan terlalu
banyak, tapi mudah lapar. Jadi harus tersedia biscuit, roti, atau sejenisnya
yang bisa dimakan ibunya bila sewaktu-waktu ia merasa lapar.
Bu Kanjeng belum berkenalan
dengan istri Pak Rafi karena sedang pergi. Pagi ini mereka memperkenalkan diri.
Nama istrinya adalah Nurhasanah.Sama-sama dari Madura. Mereka menikah di Mekkah.
Mereka dikarunia dua orang anak. Anak Pak Rafi yang sulung baru berusia 5 tahun
namanya Alief. Seorang anak laki-laki yang ganteng mirip Pak Rafi yang asli
Madura. Sedang anaknya yang ke dua permpuan baru berusia 10 bulan. Bayi itu
bernama Latifah. Cantik sekali.Matanya coklat, kulitnya putih, alisnya tebal,
dan hidungnya mancung. Saya sempat bengong melihatnya dan tidak percaya kalau
itu anak Pak Rafi.
Ketika Bu Rafi masuk ke dalam
rumah. Rasa penasaran saya semakin kuat. Saya menghampiri TKW yang ada di dekat
saya lalu berkenalan dengannya. Setelah basa basi sebentar, saya langsung
menanyakan prihal anak Pak Rafi yang masih bayi itu.
“ Mba, itu anak angkat atau anak
kandungnya Pak Rafi? Sepertinya mirip sekali orang Arab ya?” cetus bu Kanjeng.
“ Ah, ibu kayak ngga tau aja. Ini
hal biasa di sini.” Jawab si mba lawan bicara bu Kanjeng
“Maksudnya?”Tanya bu Kanjeng
belum jelas
“Itu hasil karya majikannya bu.”
Jawabnya dengan suara dikecilkan.
“Oh.” Lagi lagi Bu Kanjeng
terkejut.
“Jadi Pak Rafi tahu kalau istrinya
dihamili majikannya begitu?” Cecar bu Kanjeng yang butuh kepastian.
“Ya, begitulah.”
“Kok bisa ya? Bagaimana perasaan
dia sebagai suami kalau istrinya diperlakukan seperti itu oleh majikannya.”
Sekali lagi bu Kanjeng mikir yang bukan urusannya.
“Bu di sini selagi ada
kompensasinya dan dapat uang, semua baik baik saja.” Penjelasan si mba itu ada
benarnya juga pikir bu Kanjeng
“Tapi harga dirinya dimana?”
Tanya bu Kanjeng dalam hati.
Ternyata apa yang terjadi di Arab
Saudi tentang nasib TKW yang dilecehkan majikannya memang ada. Malah kejadian
yang sesungguhnya lebih memprihatinkan.
Bu Kanjeng mendapat pengetahuan
sekaligus pembelajaran betapa segala suatu yang sudah kita sepakati dan kita
jalani ada risikonya. Tapi selama kita menggunakan buku petunjuk yang diberikan
Allah, inshaallah tidak akan tersesat terlalu jauh. Bayangan bu Kanjeng bahwa
ini Negara Islam pastti pengamalan agamanya lebih baik. Ternyata tidak. Semua
kembali pada manusianya ketika mampukah dia mengendalikan nafsunya, dan
sanggupkah dia berpegang pada ajaran agamanya dengan taat pada hukum Allah.
Bu Kanjeng dan ibunya yang
memperoleh berbagai cerita miring tentang nasib TKW di Arab Saudi jadi miris.
Mereka banyak juga mengerjakan pekerjaan yang makruh bahkan mengarah pada
pekerjaan yang haram. Di dunia ini tetap saja yang namanya manusia yang dikejar
harta, tahta dan wanita.
Tanggal 9 Dzuhijah siang para pengikut
yang masuk rombongan Pak Rafi semakin banyak. Usianya pun bervariasi tapi dari
sekian banyak orang yang paling tua ya ibunya bu Kanjeng. Rencananya sore ini
mereka harus segera meninggalkan rumah Pak Rafi. Karena menjelang malam jalan
menuju Arafah akan ditutup. Jamaah haji dari penjuru dunia akan berkumpul di
Arafah sejak pagi hingga sore di padang Arafah.
Mereka diminta untuk bersiap siap
sejak bada asar. Tapi sudah hampir dua jam bus yang akan membawa kami ke Arafah
belum juga datang. Bu Kanjeng masih bisa menahan diri dan tetap sabar. Tapi bagaimana dengan ibunya yang duduk di kursi roda sekian lama?
Untuk menghibur sang ibu supaya tidak bosan, bu Kanjeng mengajak ibu berzikir.
Lelah berzikir mereka diajak ngobrol
tentang hal-hal yang menyenangkan.
“Ibu, mengapa ngga dari dulu
ibadah hajinya pasti bisa lebih puas. Mengapa diajak sejak 5 tahun yang lalu selalu menolak,” kata
batin Bu Kanjeng meronta
Bu Kanjeng bersegera membuang
semua pertanyaan konyol itu. Ia sadar berada di tanah suci seperti saat ini
bila bukan karena izin-Nya tak akan mungkin terjadi.
“Ayo tunjukkan bahwa dirimu
sanggup menjalankan ibadah ini dengan baik. Tidak ada keluh kesah dan
penyesalan. Ingat masih banyak rukun dan wajib haji yang harus diselesaikan.”
Bu Kanjeng berusaha menyemangatinya sendiri.
Sebelum subuh bu Kanjeng sudah
bangun. Membantu ibunya ke toilet dan membersihakan diri. Ibunya harus merasa
nyaman agar tidak bermasalah di Arafah. Semua barang dikemasi dengan rapi.
Ketika diumumkan bahwa bus yang akan membawa kami ke Arafah sudah siap bu
Kanjeng mencari Mas Ridwan supaya membantunya membawa ibu naik ke dalam bus.
Bus yang saya tumpangi adalah bus
yang kemaren sore membawa kami ke perbatasan kota Mekkah. Bus tua super dekil
of the kummel.
“Pak Rafi tega nian dikau, apa
ngga ada bus yang lebih jelek lagi ya.” hampir saja bu Kanjeng keceplosan dan
bicara blak-blakan tentang isi hatinya.
“Astaqfirullahalazim, mengapa aku
jadi ngga bersyukur?” Bu kanjeng segera
sadar agar bisa menjaga ucapannya.
Dari kejauhan ia melihat ratusan
tenda putih tempat jamaah haji mabit. Mereka berbondong bondong sudah menuju
Arafah. Sirine ambulan juga meraung raung. Para jamaah haji yang berada di
rumah sakit semua dibawa ke Arafah untuk bersama sama wukuf agar rukun hajinya
terpenuhi dan ibadah hajinya sah.
Tenda yang akan mereka tempati
hampir jadi, sambil menunggu tikar dan perlengkapan lain disiapkan Bu Kanjeng memandangi
keadaan di sekitar. Nun jauh di atas
jabal Rahmah, Ia masih melihat
gerombolan jamaah yang memakai baju ikhram menaiki bukit tersebut. Ia pun heran
apakah mereka lupa bahwa sebentar lagi waktunya wukuf di padang Arafah.
Ada lagi rekaman di mata dan
benak bu Kanjeng di saat menunggu tenda siap sejak turun dari bus. Hukum alam,.
di mana ada kerumunan manusia, ada permintaan pasti ada penawaran. Begitu
banyak orang yang berjualan di sekitar tempat saya menunggu. Kebanyakan dari
mereka adalah para mukimin, hanya sebagian kecil saja yang berasal dari Yaman.
Pedagang dari Indonesia menjual aneka makanan. Layaknya pesta rakyat yang di
gelar di pasar malam. Ada orang berjualan rujak, gado gado, sate, dawet, dan
aneka makanan yang khas Indonesia tersedia. Rupanya ini kelanjutan dari cara
Allah memuliakan ibu dan saya yang suka kuliner makanan rakyat. Di balik
kekesalan dan kepenatan kami menunggu tapi masih ada celah bagi kami untuk
tersenyum dan merasa seakan tak jauh dari Tanah air.
Akhirnya Mas Ridwan
menghampiri dan membantu bu Kanjeng dan
ibunya bisa sampai di tenda. Sementara Bu kanjeng yang mengikutinya dari
belakang menyibak semak berduri yang dilewati. Sesekali terasa duri duri kecil
mengenai betisnya, ternyata kaos kaki dan baju ikhram pun tembus. Padang Arafah
yang dibayangkan ketika di tanah air
ternyata berbeda. Mereka mendapat tenda yang tanahnya tidak rata. Seperti bukit
darurat yang baru dibuka, dan hampir
batas akhir wilayah Arafah.
Bu kanjeng segera mengajak ibu ke
toilet terdekat dan berwudhu. Lega rasanya, karena sebelum azan dzuhur
berkumandang mereka sudah siap. Sedang di kanan kiri bu kanjeng para TKW dari seluruh penjuru Arab
Saudi berkumpul.
Mereka sebagian masih muda walau ada juga yang setengah baya.
Rupanya padang Arafah juga dijadikan ajang reuni bagi mereka, sekaligus tempat
bertemu jodoh. Mereka yang sudah melakukan umroh beberapa waktu yang lalu
diberi kesempatan oleh majikan mereka untuk berada di Padang Arafah di bulan
Dzulhijah agar ibadah haji mereka sah. Bu Kanjeng perhatikan masih saja mereka
asyik ngobrol. Tanpa menghiraukan bahwa waktu azan dzuhur segera tiba dan khotbah wukuf sebentar lagi dimulai.
Azan Dzuhur berkumandang dari
masjid Namirah. Para jamaah yang berada di padang Arafah salat jamak taqdim
Dzuhur dan Ashar dengan cara di-qashar. Meski masih berada di Arafah pada waktu Ashar, tetap
dianjurkan meringkas salat sesuai yang dicontohkan Rasulullah SAW. Setelah
salat inilah jamaah merapat untuk mendengarkan khotbah wukuf dari radio. Dengan
bahasa isyarat Bu Kanjeng minta supaya
para TKW itu diam dan khusyuk mendengarkan.
Arafah merupakan tempat yang
sangat penting pada ibadah Haji, dimana di Arafah ini jama’ah haji harus
melakukan Wukuf. Wukuf merupakan rukun Haji dan tanpa melaksanakan Wukuf di Arafah
maka hajinya tidak sah. Suasana di Arafah ketika musim haji bagai replika di Padang Mahsyar saat manusia
dibangkitkan kelak oleh Allah SWT pada hari yang tak diragukan lagi. Saat itu
semua manusia sama dihadapan Allah SWT, yang membedakan hanyalah kualitas
imannya. Saya pernah membaca bahwa;
“Wukuf secara harfiah berarti
berdiam diri. Wukuf di Arafah adalah berada di Arafah pada waktu antara
tergelincirnya matahari (tengah hari) tanggal 9 Dzulhijah sampai matahari
terbenam dengan berpakaian ihram. Pada saat wukuf disarankan untuk memperbanyak
doa sambil menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangan. Juga memperbanyak
taubat memohon ampunan kepada Allah SWT, sebab saat wukuf adalah saat yang
utama untuk berdoa, memohon ampun dan bertaubat.”
Setelah membantu ibunya dengan
menunjukkan doa yang harus dibaca dari buku panduan haji yang selalu
dikalungkan. Tak bosan dengan telaten bu Kanjeng menjelaskan pada ibunya agar
selalu memulainya seperti saat berdoa selesai salat fardu.
“Bu, doanya kita awali dengan istiqfar
ya! Mohon ampun pada Allah, lalu lafaskan salawat kepada Nabi Muhammad SAW,
berzikir pada Allah, lanjut bersyukur, baru ibu baca panduan doa yang ada di buku kecil itu, semua
sudah lengkap secara umum, setelah itu baru ibu tambahkan doa khusus untuk
semua orang yang ibu cintai dan titipan doa saudara kita yang ada di tanah air.
Pokoknya ibu ikhlas, syukur dan sabar dengan semua ketetapan Allah, dan yang
terpenting ibu mohon bila dipanggil menghadapNya dalam keadaan khusnul khotimah.”
Dengan hati-hati bu Kanjeng menjelaskan
pada ibunya. Ia berharap ketika sedang
berdoa nanti bisa lebih khusyuk karena ibnyau juga bemuhasabah dengan Allah.
Bu kanjeng meminta ibunya menirukan doa yang disunnahkan
ketika berada di padang Arafah yaitu; “Laa
ilaha illallaah wahdahu laa syarikalah. Lahul mulku walahulham yuhyiwahyumiit,
wahua hayyun layamuutu biyadihil khair, wahua’ alaa kuli syaiin qadir.”
Artinya; “Ya Allah tiada tuhan
selain Allah yang tiada sekutu bagiNya, segla kerajaan dan segala puji. Dia
yang menghidupkan dan mematikan. Ia hidup tidak mati. Di tanganNya, segala
kebaikan dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”(HR Ahmad)
Panas terik bercampur angin yang
sesekali agak keras tak mengurangi kekhusyukan jamaah dalam berdoa. Waktu dan
tempat yang sangat ijabah untuk memohon pada Allah tidak boleh terbuang. Banyak
pesanan doa yang sudah ditulis oleh teman, saudara, dan kerabat yang harus saya
tunaikan. Yang terpenting adalah permohonan ampun saya kepada Allah. Sebagai
manusia yang tak pernah luput dari dosa. Kadang hati masih kotor, sering
berprasangka buruk, dan banyak mengeluh alias kurang bersyukur. Terbayang
begitu banyak dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat, hanya Allah yang
mengetahui semua itu. Terbayang ketika saya kecil pernah mencuri uang ibu saya
di laci, terbayang ketika saya membatalkan puasa tetapi di hadapan ibu dan adik
adik saya mengaku puasa, ya begitu banyak dosa besar atau kecil baik yang saya
sengaja maupun tidak.
“Ya Allah ampuni dosa-dosakami.
Jadikan kami sebagai hambaMu yang taat pada aturan-Mu, Beri kemudahan agar dapat
menggapai RidhaMu.” Dada bu kanjeng mulai sesak dengan isak tangis yang
tertahan, ia merasa malu di hadapan Allah. Betapa banyaknya nikmat yang sudah
diberikan Allah padanya, tetapi masih
sering mengeluh, masih senang pilih pilih ayat ketika beribadah, belum bisa patuh dengan semua perintah-Nya,
maupun larangan-Nya. Berharap sekembalinya
dari Tanah suci, akan menjadi manusia yang suci, yang taat pada
Allah dan bermanfaat untuk kemasalatan umat Islam.
Selesai berdoa, bu Kanjeng
menoleh. Ia perhatikan ibunya juga menangis terharu. Setiap manusia pasti punya
pengalaman pribadi dengan Tuhannya. Begitu juga dengan bu Kanjeng dan ibunya.
Hanya Allah yang maha mengetahui seberapa besar kadar keimanan hamba-Nya.
Sungguh melaksanakan ibadah haji dengan bertanazul itu sangat penuh ibra dan
keberkahan.
0 Comments