Aku Tak Mengenal Sosok Bapak
Judul tulisan ini rasanya aneh. Apa mungkin? Pertanyaan
itu mungkin terselip di hati pembaca sama dengan Bu Kanjeng yang senang membaca
buku memoir. Ternyata memang ada. Bu Kanjeng asyik membaca untaian kalimat yang
pernah direnda berdasarkan sumber dari penulis pemula.
Bu Kanjeng tidak tahu apakah tulisan ini jadi buku atau tidak, tetapi rasanya sayang bila terserak tanpa diambil manfaatnya. Padahal dari tuisan sederhana ini banyak sekali hikmahnya. Yuk kita simak bersama tulisan di bawah ini.
Aku lahir dari rahim seorang wanita yang sangat
menderita. Aku hanya mengenal ayah biologisku lewat nenek. Sampai detik ini aku
pun tak tahu dimana keberadaan ayahku.
Kata nenek dan ibuku, ketika aku lahir keadaan kami
sangat memprihatinkan. Terpaksa setelah usiaku hampir satu tahun, dimana aku
seharusnya masih membutuhkan ASI, ibuku harus menyambung hidupnya di Semarang.
Aku ditinggal bersama nenek di desa.
Saat musim panen padi atau jagung, aku diajak nenek keliling
desa untuk ngasak ( mencari sisa-sisa hasil panen padi, jagung, ubi jalar dan
lain-lain yang sudah tidak dipedulikan pemiliknya). Lokasi yang harus kami
datangi untuk mengais sisa-sisa panen
itu cari cukup jauh. Walau jauh, itu tidak mengurangi semangat kami mencari rezeki.
Ketika kami menemukan ada penduduk panen, aku diturunkan
dari dunak/tenggok ( tempat
meletakkan hasil ngasak ). Kadang aku diletakkan di galengan/parit. Aku dibiarkan
menunggu mereka sambil asyik main sendirian. Memang tempat itu yang menjadi
sasaran keluargaku untuk mengais segenggam rezeki. Tanpa semua itu kami tidak makan.
Ada 4 jiwa di dalam keluarga nenek, aku, nenek, paman dan
bibi. Aku yang masih sangat kecil saat itu belum tahu untuk apa aku diajak ke
sawah atau ke ladang penduduk.
“ Wis yo nok, kowe anteng ning kene mak e tak golek pari dhisik ,” cerita
bibi dan paman saat itu.
Masuk usiaku yang ke 4, keluarga kami semakin berantakan.
Bibiku bekerja ke kota, pamanku pun mengikutinya. Tak lama Nenek meninggal
dunia. Tinggallah aku sendirian di rumah. Akhirnya aku dibawa ibuku ke kota
dimana ibuku berkerja.
Ibu boleh membawaku ikut bekerja di rumahnya.. Ya, ibuku
bekerja untuk keluarga ibu angkatku. Di situlah lembaran hidup baru aku jalani.
Aku hidup berdampingan dengan ibu yang melahirkanku dan keluarga orang tua angkatku
yang hidupnya serba kecukupan. Saat itu aku sudah dianggap seperti anak mereka
sendiri. Di situlah aku diajari bersih-bersih rumah. Padahal saat itu menyapu saja
belum bersih. Aku diajari ngepel lantai setiap hari oleh bapak angkatku.
Kegiatan rutinku di usia itu adalah membantu ngepel lantai, bersih-bersih kaca
jendela dan bantu ibu kandungku yang baru masak di dapur ditambah aturan-aturan
yang lain yang tidak bisa aku ceritakan disini.
Orang
tua angkatku adalah seorang pengusaha sukses. Anaknya 7 orang. Mereka sangat
menyayangiku. Nama-nama merekapun selalu kuingat karena kebaikannya yang tak
pernah aku lupakan sepanjang hidupku.
Ada
Bapak H.Hadi Soewarno almarhum sebagai kepala keluarga, Ibu H.Oetini Hadi
Soewarno almarhum orang tua angkat, ibu Didiet Hadiwati, bapak Hudiyono, bapak
Hadiyanto, ibu Utiwati, ibu Wiwik Sriwiyati, bapak Hari Raharjo dan ibu Titiek
Setyowati.
Alhamdulillah,
aku dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangiku. Tapi tidak ada nama
ayahku disitu. Entah kemana beliau. Sayangnya aku tak tahu bagaimana sesungguhnya ayahku dan dimana
dia sekarang. Konon kabar terakhir dari tetangga desa, ketika aku menulis
kisahku ini, beliau sudah meninggal dunia, jauh sebelum ibuku meninggal dunia.
Menurut
cerita bibiku, rumah ayah kandungku tidak jauh, beliau tetangga desa, tapi aku tidak pernah beliau
akui sebagai anak kandungnya, maka aku juga tidak ingin melihatnya, ataupun
mengganggu kehidupan dan keluarganya sampai hari ini.
Aku
tak ingin mengenalnya atau pun menuntut tanggungjawabna sebagai ayah. Semua
kubiarkan saja. Ia tak mengenalku, dan aku pun tak ingin kenal dengannya. Ia
sudah begitu tega meninggalkan ku ketika masih dalam kandungan.
Semua
kubiarkan, seperti air yang mengalir, tanpa ada ranting yang menghalangi
alirannya . Entah akan berhenti sampai dimana air itu mengalir. Kuserahkan
semuanya pada Allah yang Maha Kuasa, sang Pencipta.
Setelah membaca kisah itu perasaan Bu Kanjeng seperti
diaduk-aduk. Membayangkan kehidupan perjalanan sang tokoh pasti bergelombang
dan menguras kesabaran dan air mata. Tetapi bila direnungkan dan mempelajari
banyak kisah hidup yang dialami oleh orang yang kurang beruntung, hati Bu
Kanjeng lega. Setidaknya ia juga punya lakon kehiduan tersendiri yang tak kalah
menarik bila ditulis dan digunakan untuk kebaikan demi memberi motivasi kepada
pembaca.
24 Comments
Lakon kehidupan yg takkan pernah habis untuk ditulis dan dikisah...
ReplyDeleteSangat menginspirasi kisahnya.
Begitulah kehidupan smg kita banyak bersyukur dan mengambil hikmahnya
DeleteWah jadi penasaran kisah selanjutnya...
ReplyDeleteInsyaallah lanjut
DeleteMenggugah semangat lahir batin bagi orang sekitar yang punya kehidupan beda dengan sang tokoh... Subhanallah menginspirasi banget bu Kanjeng
ReplyDeleteItulah paket kehidupan yang harus diterima dgn ikhlas
DeleteWah,hanyut terbawa perasaan,mata yuyu,selalu keluar bila sedih,terharu dan gembira.
ReplyDeleteBegitulah sejatinya hidup berharap semua akan indah pada waktunya
DeleteThat,s a life
ReplyDeletePegang password SSI sabar syukur Ikhlas
Deletelakon kehidupan. menarik sekali. Mungkin perlu segera mengumpulkan tulisan-tulisan di blog untuk dibukukan. Teruslah menebar, menabur dan menyemai VL.
ReplyDeleteSiap komandan
DeleteTulisan bunda selalu menyentuh.. Setiap orang punya Lakon kehidupan masing-masing.. belajar untuk bersyukur dan tetap berbagi kebaikan seperti yang bunda lakukan adalah tugas kita.. Terimakasih bunda...
ReplyDeleteDengan banyak membaca kisah kehidupan kita semakin bersyukur
DeleteSetiap orang punya skenarionya sendiri ya Bun..
ReplyDeleteBener banget Edit Terima kasih sudah mampir
Deletedunia ini panggung sandiwara, mari kita menjadi artisnya dengan menjadi aktor dan aktris yg baik
ReplyDeleteInsyaallah dan bisa memerankan yang terbaik
DeleteSedih bu bacanya. Terkadang dunia itu kejam. Namun kekejaman itu biasanya menjadikan diri kuat dan bisa sukses. Ingin lanjutanya bu😊🙏
ReplyDeleteInsyaallah saya lanjutkan kisahnya
DeleteSangat menarik dan trenyuh di hati..jd teringat kisah diri yang tak jauh dari itu..namun kadang malu untuk menceritakannya...👍☝️🙏🙏🙊🙊
ReplyDeleteTanya pada hati yang paling dalam, mungkin dengan mengabadikan penerus kita akan lbh menghargai arti sebuah kehidupan
DeleteSenantiasa bersyukur apapun yang Allah takdirkan untuk kita. Semangat Bu Kanjeng, pelajaran hidup yang pahit di masa lalu Allah bayar dengan keindahan dan rasa manis yg luar biasa. Salut buuu...
ReplyDeleteMenelisik banyak kisah penuh hikmah
Delete