AKU PUNYA AYAH TIRI

AKU PUNYA AYAH TIRI
Oleh:Sri Sugiastuti

"Cinta Ayah itu terkadang tak akan terlihat, karena memang ia tak pandai untuk menunjukkannya" .

Berita duka kematian Pakde Sutrisno sampai lewat telpon yang kuterima dari Jakarta. Kabar itu tidak terlalu mengagetkan. Sudah hampir dua bulan beliau keluar masuk RS karena penyakit tua, dan juga asam urat yang akut. Saat itu aku sekeluarga sudah tinggal di Solo. Sementara Pakde di Jakarta bersama Ibuku.

Pakde adalah panggilanku kepada ayah tiriku sejak Aku berusia 6 tahun. Ia termasuk sosok yang mewarnai hidupku. Terutama saat aku tumbuh dari remaja hingga dewasa. Mungkin dalam segi materi ia tidak bertanggung jawab karena Pakde punya keluarga yang harus dinafkahi. Pakde menikah dengan ibuku memang punya kepentingan tersendiri.  
Saat itu  ibuku menyandang status janda orang menyebutnya single parent. Masih aku ingat ucapan ibuku kala itu. 

"Nduk demi status Ibu dan juga anak-anakku. Ibu harus punya suami dan kalian punya bapak. Ibu tidak mau kalian dikatakan sebagai  anak janda. Begitu juga ibu. Karena orang yang tidak punya suami di seusia ibu banyak orang yang usil dan iseng menggoda. Ibu berharap kalian paham," jelas Ibu jelang hari pernikahannya yang ke dua. 

Pakde Sutrisno begitulah aku memanggil ayah tiriku. Pria beristri dan beranak 5 yang berani menikahi seorang janda beranak 3, Ambarwati. Ya Ambarwati nama Ibuku. Aku tidak tau kesepakatan apa yang beliau ambil. Yang jelas Ibuku dengan istri pertama Pakde Sutrisno sangat rukun. Bahkan saat Ibu menikah dihadiri oleh Bude Maria istri Pakde Sutrisno dan anak-anaknya. 

Kami tidak tinggal serumah.  Aku dan Ibu tinggal di daerah Pejaten Timur sedangkan  keluarga Bude Maria di Kebayoran Baru. Hubungan anak-anak Pakde Sutrisno dan keluargaku sangat baik. Bisa dikatakan kami tumbuh besar bersama. Bagaimana kami memilih sekolah dan melanjutkan kuliah. Kami terbiasa saling diskusi  dan menyemangati.  Aku dan adik-adikku memanggil Bude kepada istri Pakde Sutrisno. Sementara anak-anak Bude Maria memanggil Ibuku dengan panggilan Bulik Ambar. 

Pakde Sutrisno seorang  prajurit sejati yang menghidupi keluarganya dari uang gaji semata. Bude Maria untuk mencukupi ekonomi dengan 5 orang anak rela berjualan sayur di rumah dan jualan  gado- gado dan rujak. Sementara Ibuku memenuhi biaya hidup dan kebutuhan 3 anaknya tanpa mengganggu keuangan Pakde Sutrisno. Lebih tepatnya ibuku dan anak-anaknya membutuhkan sosok sekaligus pemimpin dalam keluarga. 

Bude Maria sebagai penjual gado-gado dan rujak juga jualan sayur di rumah sudah sangat membantu ekonomi keluarga. Begitu juga dengan ibuku yang berprofesi sebagai 'mantri suntik' yang punya klinik balai pengobatan begitu getol mencari rezeki demi membiayai sekolah ketiga anaknya. 

Pakde Sutrisno hanya menerima gaji murni dari pemerintah. Tidak ada tambahan lain. Gaji itu hak untuk istri pertama yang memiliki 5 anak. Sedang istri keduanya dianggap sudah tidak perlu dibantu dari segi keuangan. Yang dibutuhkan Ambarwati dan anak-anaknya adalah sosok Bapak yang bisa dibanggakan, dan ada saat dibutuhkan. 

Setelah aku dewasa semua dapat kupahami. Bagaimana Pakde Sutrisno yang ikut mengawal aku dan dua adikku sejak kecil hingga tumbuh menjadi dewasa. Pakde tidak egois dan bisa berbagi. Ia membagi kasih sayangnya kepada dua istri dan 8 anaknya baik anak tiri maupun anak kandung. 

Menurutku,  beliau sebagai pahlawan keluarga. Saat itu  zaman masih serba susah di tahun 1965  hingga 30 tahun Soeharto berkuasa. Pakde Sutrisno seorang ABRI yang bisa mengayomi keluarganya. Mungkin dari segi finansial ia tidak banyak menyumbang harta. Beruntung kedua istrinya bisa membantu ekonomi keluarga masing-masing. 

Walaupun Pakde Sutrisno tidak setiap hari berada bersama keluargaku, tetapi bagi kami keberadaannya lebih dari cukup. Di dalam kehidupan status keluargaku jelas. Ibuku punya suami dan  anak-anaknya Bapak yang melindungi. Alhamdulillah masalah rezeki walaupun tidak berlebih Ibuku bisa  memenuhi kebutuhan kami. 

Aku sangat hormat dan sayang kepada Pakde Sutrisno. Beliau orang yang tekun beribadah. Kedua istri dan anak-anaknya diarahkan belajar agama dengan baik. Tidak heran ketika di SD Aku dan adik-adikku berbaur dengan orang Betawi bisa sekolah arab ( Madrasah di siang hari untuk belajar mengaji dan belajar bahasa Arab). 

Sedangkan Ibuku yang saat itu masih Islam KTP. Beliau  belum menjalankan salat 5 waktu, tetapi menginginkan ke tiga anaknya rajin salat dan mengaji.  Beruntung Ibuku punya sahabat keturunan Arab Betawi yang bersemangat mengajari Ibuku salat dan mengaji. Berkat didikan Pakde Sutrisno, Alhamdulillah semua berbuah manis.

"Ayo, ini malam jumat bada magrib kita kirim doa bareng- bareng. Supaya Eyang kakung dan eyang putri yang sudah meninggal diampuni dosanya dan diterima amal kebaikannya," ajak Pakde Sutrisno bila di malam jumat ada gilirannya di rumah Ibuku.

Aku masih ingat bila malam jumat kami duduk bareng saat usai salat magrib bersama-sama wiridan  dan tahlil hingga jelang isya. Pakde Sutrisno menjelaskan bahwa mendoakan orang tua yang sudah meninggal itu hukumnya wajib dan sebagai tanda berbakti kepada orang tua walaupun sudah meninggal.

Kebiasaan Pakde Sutrisno yang paling berkesan bagi Pratiwi dan adik- adiknya yaitu kebiasaan baiknya salat tahajud di sepertiga malam dan lanjut membaca AlQuran. Sering aku terbangun di malam hari dan mendengarkan beliau mengaji, usai salat tahajud. Kebiasaan yang lain adalah setiap bada subuh Beliau senang mendengarkan tausyiah dari ustadz kondang pada zamannya Kyai Kosim Nurseha dari Radio Kayumanis Jakarta. 

Sebagai umat Islam, bekal untuk pulang ke akhirat itu harus dipersiapkan sedemikian rupa. Begitu juga dalam hidup di dunia harus hati- hati. Memahami mana yang hak, mana yang bathil. Mengamalkan amar makruf nahi munkar. Semua diajarkan dan diingatkan oleh Pakde Sutrisno.  Pakde Sutrisno tidak banyak bicara dan memberikan nasihat, tetapi dicontohkan lewat  perbuatan dan tindakan. Sehingga kami bisa meneladani apa yang sudah dilakukan. 
Aku masih mengenang saat hari raya Idul Fitri tiba dimana menjadi hari bahagia ketika aku  masih anak - anak. Pakde Sutrisno membelikan kembang api, dan mercon banting. Kembang api itu dinyalakan saat malam takbiran. 

"Asyik..ayo kita nyalakan kembang apinya. Mana petasan cabe rawitnya Pakde?" Pintaku sambil bersorak gembira. Malam Takbiran dan Hari Raya bagi seorang anak menjadi momen yang selalu ditunggu. 

Terlalu banyak kenangan yang terpatri di memoriku. Aku bersyukur memiliki seorang ayah tiri yang  mewarnai hidupku. Walaupun  dalam segi materi semua ibuku yang memenuhi tetap saja aku sangat hormat dan menyayangi beliau. 

Tetap akan kukenang di saat aku kecil dalam ayunan sarungnya yang digoyang di kedua kakinya. Aku menyebutnya " diandul- andul". Lagunya pun lucu dan menggelitik.
Andul-andul susune mbok Roro Kidul.
Gedebuk tiba kasur.

Kami pun tertawa gembira saat dijatuhkan di atas kasur. 
Begitulah kisah kebersamaanku dengan Pakde Sutrisno hingga aku menikah dan pindah ke Solo bersama keluarga baruku. Aku belum bisa membalas kebaikan beliau hingga ajal menjemputnya. Tetapi apa yang telah diajarkan di universitas kehidupanku sangat berarti dan kuamalkan hingga kini. Hanya doa yang selalu kupanjatkan kepada  Allah SWT semoga dilapangkan kuburnya dan diterima amal kebaikannya. 

Kata orang punya ayah tiri itu tidak nyaman. Sementara aku merasa  sangat beruntung. Tidak ada rasa sesal memiliki seorang ayah tiri. Bayang- bayang memiliki kebersamaan dengan Ayah kandung  hanya mimpi yang tidak terwujud.  Semua itu tetap aku syukuri.  Kodratullah  Pakde Sutrisno sosok yang ikut mewarnai hidupku hingga kini.

Surakarta Hadiningrat,  12 Desember 2021

 

Post a Comment

4 Comments

  1. Luar biasa, Bu. Sangat menginpirasi tulisan-tulisannya

    ReplyDelete
  2. Kisah yang luarbiasa Bun.....
    Semoga Allahuyarham pakdhe Sutrisno diampuni dosanya diterima amal ibadahnya, dan ditempatkan di surga nya Allah....

    ReplyDelete