Yuk Menulis Biografi Bersama Sastrawan/ Budayawan Eka Budianta


Yuk Menulis Biografi Bersama Sastrawan/ Budayawan Eka Budianta

Oleh: Sri Sugiastuti 

"I think that fiction. history and biography are immensely important, because they provide a picture of life now and of life in the past."
― Aldous Huxley
Penulis dari Inggris 1894-1963

Saya pikir fiksi itu, sejarah dan biografi sangat penting, karena mereka memberikan gambaran kehidupan sekarang dan kehidupan di masa lalu. "Karena penting mari kita belajar menulis biografi," bisik hati Bu Kanjeng. 

Di usia senja dengan semangat belajar di universitas kehidupan itulah Bu Kanjeng. Kali ini ada yang bisa ia tulis saat berkesempatan terlibat di kegiatan kopdar 2 RVL  di Yogyakarta. Acara yang digelar dari tanggal 24-25 Juni 2023 ini bisa terlaksana dengan baik atas izin  Allah dan ikhtiar Pak Founder dan Penasihat juga panitia lain yang Berkolaborasi dengan cantik.

Sejak digagas acara kopdar 2 RVL dan juga kelengkapan lainnya memang satu perjuangan yang luar biasa. Itu sebabnya setiap momen yang baik dan menjadi rezeki yang istimewa harus disyukuri dan diabadikan dalam bentuk tulisan.

Nah kali ini ada materi workshop dari narasumber hebat dan mumpuni di bidangnya, akan dibagikan dengan meringkas apa bisa direkam dari otak lansia seperti Bu Kanjeng. Penasaran? Lanjut saja membacanya, mungkin ada yang bisa direguk baik yang tersirat maupun tersurat.

Bu Kanjeng melahap materi yang disampaikan Budayawan kondang sekelas Eka Budianta. Dari satu pertanyaan yang menggelitik. "Kapan kita sukses menjadi penulis?" Pasti jawabannya bervariasi  ya. Lalu bagaimana jawaban yang dimunculkan oleh Pak Eka Budianta?

"Kita baru sukses menjadi penulis, kalau berhasil menulis hal yang tidak kita sukai, dengan tetap gembira,”  Latar belakangnya sebagai wartawan AP (Associated Press) di Tokyo membuat Mr. Uno bekerja 24 jam dalam sehari.
Kepala Kantor Penerangan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIC) pada 1986 Mr. Hisashi Uno. Yang berkantor di Gedung Dewan Pers Lantai 5, Jalan Kebon Sirih, Jakarta.

Pada tahun 1975, Pak Eka menerima honorarium dari Harian Kompas. Cerita kanak-kanak tulisan saya muncul, di Minggu ketiga bulan Juni. “Wah, anakku sudah menjadi penulis,” kata Ibu. Ibu Monica Andayani berpikir, anaknya sukses menjadi pengarang, ketika tulisannya mulai mendapat honorarium.

Seperempat abad berikutnya, tahun 2000, sang ibu mengajak menonton pameran sampul buku Pramoedya Ananta Toer. Lebih dari seratus cover buku dipajang di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki. “Itulah tanda penulis yang sukses,” kata Ibu. “Sampul depan bukunya saja bisa dipamerkan dan menarik banyak perhatian.” 

Seorang penulis dikatakan sukses, takarannya berbeda. Seorang Eka Budianta berhasil mengajak peserta workshop berandai-andai dan semangat untuk belajar menulis biografi. Bagaimana ia menyampaikan bahwa 
Pada bulan November 1996, ia menghadiri peluncuran biografi H. Boediardjo, di Galeri Nasional, Jakarta. Pulangnya ia mendapat amplop berisi uang. Naujubilah jumlahnya! 

Ia tidak yakin, apakah tanda terima kasih dalam amplop itu juga menjadi bukti bahwa kita telah sukses sebagai penulis. Yang jelas, usaha menulis biografi telah mendatangkan rezeki besar buatnya dan keluarga. Mulai dari buku “Siapa Sudi Saya Dongengi?” biografi H. Boediardjo itu, ia mendapatkan pesanan belasan riwayat hidup lainnya.

Dari almarhum Ramadhan K.H, ia belajar menghitung honorarium yang wajar untuk seorang penulis biografi. Beberapa kali ada pesanan berulang (repeat order). Misalnya pendiri Laboratorium Prodia, Gandakusuma, minta dituliskan biografi untuk ulangtahun ke
70. Sepuluh tahun berikutnya, minta lagi untuk ulangtahunnya ke 80. Biografiny berjudul “Mimpi Besar Sang Pengangon Bebek,” diterbitkan oleh Kompas Gramedia.

Untuk Pak Emil Salim ia juga menulis dua buku biografi. Pertama, “Disentuh Emil Salim” dan kedua “Langkah-langkah Mawar” – perayaan 50 tahun pernikahannya dengan Ibu.

Semua yang sampaikan Pak Eka tentu saja membuat bu Kanjeng semakin serius belajar menulis biografi.  Kira-kira siapa tokoh yang ingin dibuatkan biografinya oleh Bu Kanjeng. Sementara biografi Bu Kanjeng saat ini sedang proses terbit dengan judul "Merapal Jejak Bu Kanjeng". Bu Kanjeng sedang mereview tulisan tersebut.
 
Materi selanjutnya yang disampaikan Pak Eka
 “Bagaimana menulis biografi yang bagus?” Inilah yang ditanyakan Pak Much. Khoiri dari Universitas Negeri Surabaya, UNESA, mewakili peserta kopdar 2 RVL untuk workshop kepenulisan di Yogyakarta. 

Ada beberapa teknik untuk menggali bahan tulisan. Bambang Ismawan meminta saya menulis biografi untuk merayakan ulangtahunnya ke 70. Pak Bambang adalah pendiri Yayasan Bina Swadaya yang menerbitkan majalah Trubus. Saya pikir, menarik bila bahannya dikumpulkan dari Napak Tilas – mengunjungi tempat-tempat penting dalam kehidupannya.Termasuk di antaranya berkunjung ke Toko-toko Trubus yang menjual bibit tanaman di
berbagai kota. Maka, dengan mobil kami mendatangi tempat-tempat penting di Pulau Jawa. Delapan hari lamanya! Dari Jakarta – Bandung – Yogyakarta, sampai Surabaya. Yang paling lama tentu di Babad, kota kelahirannya dan di Semarang, tempatnya mengawali hidup berkeluarga.

Sepanjang perjalanan itu, Pak Bambang bercerita terus, sementara saya mencatat sebisa- bisanya. Hasilnya dua buku sekaligus. “Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik” dan “Mazmur Ismawan”. Buku yang kedua berisi catatan refleksi atas kehidupannya. Saya menulisnya dari sudut pandang istrinya, Ibu Sylvia. Ia berhasil menemani kehidupan seorang aktifis swadaya masyarakat.

Logikanya, sebagai lulusan fakultas ekonomi Universitas Gadjah Mada, Pak Bambang bisa menjadi pengusaha yang kaya raya. Apa lagi semasa mahasiswa pernah dikirim ke Australia dan bercita-cita memiliki lahan pertanian serta peternakan yang besar. Tetapi ia memilih berjuang bersama “Wong Cilik” tanpa menjadi politisi atau pejabat.
Alhasil, isterinya yang berupaya mencukupi kebutuhan keluarga. Ketika menikah di Semarang bulan Oktober 1965, negara sedang genting. Terjadi banyak pembunuhan di
mana-mana. Dengan sedan pengantin pinjaman, Pak Bambang menyelamatkan seseorang yang terancam di sebuah desa. Sedangkan calon isterinya menunggu di gereja dengan menangis.

Dari cerita itu, saya berpikir lebih menarik bila biografinya ditulis oleh isterinya. Maka, Mazmur Ismawan – adalah cerita rekaan dari seorang isteri yang terluka hatinya, tapi tidak sia-sia pengorbanannya. Beruntung saya mendapat kebebasan menulis. Saya memenuhi buku itu dengan puisi dan surat-surat imajiner dari ayahnya yang marah, dan dari ibunya yang meninggalkan Pak Bambang sewaktu kecil.
Jadi, prinsip utama menulis biografi yang baik adalah bahan-bahan yang istimewa dan kebebasan untuk mengolahnya. Saya juga menulis buku kenangan 100 tahun Bapak Beton Indonesia, Roosseno. Bahannya saya peroleh dari berbagai wawancara sampai ke rumah kelahirannya di Madiun, makam leluhurnya di Hutan Krasak, Parakan.

Bu Kanjeng hanyut dengan cara Pak Eka menyampaikan materinya. Ia membuat story telling yang membuat pembacanya larut dalam kisah yang ditulisnya. Simak kutipan berikut. 
 
“Siapa yang membayar saudara untuk mewawancarai saya?” tanya alm. Ir. Ciputra melalui telepon. Saya menyebut nama Prof. Toeti Heraty yang memesan biografi berjudul “Cakrawala Roosseno” itu. Tapi saya tidak menceritakan bahwa Pak Ciputra bukan satu- satunya narasumber. Untuk buku imajiner itu, saya bahkan mewawancarai pohon Nagasari, yang pernah dipanjat Roosseno lebih dari 100 tahun lalu di Kranggan, Temanggung.

Nah! Bagaimana bisa bicara dengan pohon? Saya tepuk-tepuk pohon tua itu dan saya tanya,”Benarkah Pak Roosseno dulu pernah memanjatmu? Jawab!” Pluk. Tiba-tiba pohon itu menjatuhkan bijinya tepat pada kepala saya. Tentu saya bawa biji itu ke Jakarta, dan saya tanam. “Kalau benar, tumbuh ya!” Biji itu pun tumbuh besar dari 2008 sampai sekarang.

Imajinasi adalah syarat penting untuk menyusun biografi orang-orang yang telah meninggal. Karena itu, kita bisa dan boleh menulis biografi Nabi Adam, Menak Jingga, bahkan Gatotkaca menurut versi kita masing-masing. Pramoedya Ananta Toer berhasil menulis biografi “Panggil Aku Kartini Saja”. Suparto Rahardjo dikenal sebagai penulis Biografi Singkat Ki Hajar Dewantara (1889-1959) yang paling laris.

Untuk menulis biografi, bahan-bahan yang berlimpah dan bermutu sangat penting. Tetapi yang lebih penting adalah kreatifitas dan kompetensi penulis dalam teknis penulisannya. Dengan demikian saya telah menjawab mengapa kita perlu menulis biografi dan bagaimana kiat menulisnya. 

Pemaparan materi secara daring tidak kalah asyiknya dengan workshop luring. Apa yang menjadi pererta bisa dijawab. Dan penanya pun merasa puas. Ruang Auditorium megah dengan kursi nyaman plus udara sejuk, menjadi saksi adanya interaksi antara narasumber dan Peserta yang dipandu oleh moderator andal anggota RVL yang bertugas saat itu.

Sumber : Materi Workshop Kopdar 2 RVL di Yogyakarta

Surakarta Hadiningrat, 28 Juli 2023

Post a Comment

6 Comments

  1. Luarbiasa.....best spirit. Salam literasi Bunda

    ReplyDelete
  2. Hem selalu keren bun dalam menuangkan dalam tulisan, tanda baca, penulisan nama dan penyajianya enak untuk dibaca. Semoga ilmunya menular ke semua pembaca.

    ReplyDelete
  3. MasyaAllah kuereeen bu Kanjeng. Selalu mengalir ceritanya

    ReplyDelete
  4. Amazing....
    Bisa belajar dari tulisan Ibu.

    ReplyDelete