Banyu Biru & Healing ala lansia


Banyu Biru & Healing ala Lansia

Oleh: Sri Sugiastuti

Acin...yang selalu ibu peluk dalam  doa.
Ketahuilah Nak, ibumu itu seorang lansia yang berusaha memperbaiki sisa usianya yang ada untuk bisa hidup seimbang. Bersilahturahmi dan bersosialisasi sering ibu lakukan agar ibu bisa panjang umur.

Bulan Agustus buat ibu menjadi bulan istimewa. Banyak  kegiatan,  banyak pengeluaran, tentunya banyak juga rasa syukur yang ibu nikmati. Berusia 62 tahun di alam merdeka itu sangat bermakna. Semakin banyak komunitas yang ibu ikuti, semakin besar rasa syukur itu.

Acin...rasa syukur ibu di akhir Agustus ibu wujudkan dengan healing bersama komunitas lansia yang ada di Solo. Grup yang baru ibu ikuti itu, tiap bulan punya acara traveling and have fun. Sebenarnya ibu tidak masuk dalam daftar peserta healing by Banyu Biru Train. Tetapi takdir ibu baik. H-1 tiba- tiba ada yang mengundurkan diri. Nah kesempatan itu ibu ambil.  Dengan kontribusi 300 ribu rupiah ibu bisa traveling and healing by Banyu Biru  Train, goes to Semarang.


Acin pernah googling tentang  kereta BanyuBiru ? Salah satu andalan KAI yang baru beroperasi belum lama ini. Nama Banyu Biru diambil dari salah satu desa yang ada di wilayah Semarang,  tepatnya daerah dekat rawa Pening yang memiliki pemandangan alam cantik menawan.

KA Banyubiru dengan jalur sepanjang 107,914 kilometer (km) itu terdiri atas 4 gerbong eksekutif dan 3 gerbong ekonomi. Dalam satu hari, akan ada dua kali keberangkatan baik dari Solo Balapan menuju Semarang Tawang maupun dari Semarang Tawang menuju Solo Balapan. Harga tiket ekonomi KA Banyubiru dibanderol Rp40.000 sekali jalan. Sementara, harga tiket eksekutif kondisi normal harganya Rp75.000 sekali jalan.

Alhamdulillah komunitas rombongan ibu memilih gerbong Eksekutif.  Karena kami berjumlah 50 orang, otomatis 1 gerbong bak milik kami. Terbayangkan bagaimana heboh nya para lansia dengan ulahnya. Keheboha  itu sudah terlihat sejak kami ada di ruang Transit Very very Important person( VVIP) karena ruang itu khusus untuk pejabat atau petinggi negara  dan rombongan yang menggunakan jasa transportasi kereta api.

Ruangan bernuansa putih dengan furniture mebel empuk, mendut- mendut. Dengan fasilitas AC yang dingin juga tembus langsung ke pintu masuk peron. Di ruang Transit itu ada pembagian tiket, snack, dan juga undian nomor kursi saat di bus yang akan membawa kami city tour Semarang.  Kami dengan dresscode nuansa merah putih karena masih suasana bulan kemerdekaan. Layaknya anak TK (Taman kawak-kawak) berjalan baris dua orang bersama pasangan teman duduk di kursi kereta atau kursi bus.


Sejak di ruang Transit aksi foto dan buat video tak terelakkan. Semua action dengan gaya andalannya masing- masing. Ya termasuk  ibumu. Kebanyakan dari lansia itu bermodalkan kaca mata hitam. Acin tau ngga gunanya untuk apa? Menutupi kerutan kulit yang ada di sekitar kelopak mata dan di bawah  mata. Kaca mata itu sebagai dewi penyelamat termasuk juga bagian dari membuat para lansia percaya diri dan terlihat cantik saat itu.

Perjalanan Solo- Semarang selama dua jam terasa singkat. Acin tau apa sebabnya? Sejak masuk gerbong KA, kami sudah buat acara. Pita putih harus diikatkan di kepala. Yang memakai pita paling rapi mendapat hadiah. Setelah itu, kami nyanyi Indonesia Raya, dilanjutkan lagu Indonesia Merdeka.  Suasana menjadi hangat, semua bergembira.

Selesai menyanyi lagu wajib, ada acara lomba berjalan ala peragawati. Lebih heboh lagi karena hampir 20 orang peserta yang harus jalan megal- megol ala peragawati di dalam kereta yang melaju cepat. Yang terlihat gaya sempoyongan dan derai tawa ceria. Kami serasa muda kembali.

Ketua penyelenggara memang lumayan punya kemampuan yang luar bisa menghandle kegiatan semacam ini. Peserta tidak merasa bosan. Apalagi di sepanjang perjalanan tiada jeda untuk bergembira. Semua menikmati perjalanan dengan bersuka ria.

Sampai di stasiun kami sudah dijemput 2 bus wisata yang akan membawa peserta makan siang di restoran Latar kota. Sebuah rumah makan yang lumayan bergengsi dengan konsep kekinian. Menu makan siang kali ini yang disediakan secara prasmanan adalah,  teh panas, air mineral, buah semangga, nasi putih, ayam rica kemangi, orak- arik buncis dan baby corn, mie goreng,  bakwan jagung, kerupuk dan sambal. Sebetulnya makanannya enak, mungkin  jam makan yang sudah di pukul 14.00 selera makan jadi kurang.


Kota Semarang cukup panas. Usai makan kami salat dzuhur plus asar yang kami jamak. Matahari mulai merebut saat kami meluncur ke Kelenteng Sam Poo Kong. Kelenteng ini menjadi tempat wisata ikonik yang sarat akan sejarah. Sebenarnya ibu sudah empat kali ke Kelenteng Sam Poo Kong yang merupakan simbol akulturasi budaya China dengan adat Jawa.

Ibu memandang bangunan kelenteng berdiri megah didominasi warna merah serta arsitektur khas China. Ibu jadi ingat saat jalan- jalan ke pulau Penang di Malaysia juga didominasi dengan banyaknya Kuil untuk ibadah penganut agama Khong hu cu. Kalau mengulik sejarah Kelenteng Sam Poo Kong ini sebenarnya bagian dari jejak perjalanan Laksamana Cheng Ho, seorang penjelajah dunia yang terkenal asal China.

Ibu semakin penasaran jadi ibu mengutip situs Kelenteng Sam Poo Kong, Minggu (30/01/2022), sebenarnya tempat tersebut didirikan untuk menghormati Laksamana Cheng Ho.  Dikisahkan Laksamana Cheng Ho terlahir dengan nama Ma San Bao. Namanya lantas diambil menjadi nama Kelenteng Sam Poo Kong. Dalam dialek Hokkian, Sam Poo Kong atau San Bao Dong (bahasa Mandarin) artinya adalah goa San Bao.

Pada 1406, armada Cheng Ho merapat di pantai Simongan, Semarang. Karena juru mudinya bernama Wang Jing Hong sakit keras. Selanjutnya, Cheng Ho menjadikan sebuah goa batu untuk tempat beristirahat dan mengobati Wang Jing Hong. Sementara juru mudinya menyembuhkan diri, Cheng Ho melanjutkan pelayaran ke Timur. Selama di Simongan, Wang memimpin anak buahnya menggarap lahan, membangun rumah, dan bergaul dengan penduduk setempat.

Alhasil, lingkungan sekitar gua jadi berkembang dan makmur karena aktivitas dagang maupun pertanian. Untuk menghormati pimpinannya, Wang mendirikan patung Cheng Ho di goa batu tempat mereka beristirahat. Inilah asal muasal Kelenteng Sam Poo Kong.

Wang meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar goa. Sejak itu, masyarakat menyebutnya sebagai Makam Kyai Juru Mudi.  Sayangnya, pada 1704 goa batu runtuh akibat longsor, sehingga masyarakat membangun goa buatan yang letaknya bersebelahan dengan Makam Kyai Juru Mudi.

Dalam perjalanannya, Kelenteng Agung Sam Poo Kong sudah beberapa kali menjalani pemugaran. Revitalisasi besar-besaran dilakukan oleh Yayasan Sam Poo Kong pada Januari 2002. Nah dengan beberapa kali renovasi akhirnya klenteng ini selain sebagai tempat ibadahnya sebagai tempat wisata.

Ibu dan rombongan hanya 30 menit disana. Teman Ibu yang rata-rata lansia ngga mau kalah dengan anak milenial. Mereka bikin story dengan swafoto dan unggas video di medsos. Sementara Ibu saat menjelang menuju bus, malah heboh sendiri karena kaca mata baca Ibu hilang. Tentu saja ibu panik. Ada dua tempat yang Ibu ingat terakhir Ibu melepasnya karena berganti dengan kaca mata hitam. Tempat itu di depan Kelenteng atau di halaman dekat pintu masuk.

Ibu pun bertanya ke petugas loket  tamasuk dan tukang parkir. Ternyata mereka tidak tau. Ibu hampir putus asa dan duduk manis di bus sambil berdoa. "Mungkin sudah saatnya ganti kacamata." Tiba-tiba Ibu turun dari bus dan mencoba sekali lagi mencari kacamata itu. Alhamdulillah satu Ibu menuju halaman tempat kami foto bareng, dari kejauhan sudah terlihat benda kaca itu.

"Ya Allah, ternyata masih rezeki Ibu, tidak terinjak orang maupun terlindas ban mobil atau sepeda motor." Ibu pun tersenyum bahagia dan bersyukur. Awalnya sudah terbayang akan ada anggaran untuk beli kaca mata baru pun sirna. Kaca mata lama masih bisa digunakan.  Alhamdulillah.

Surakarta Hadiningrat, 2 September 2023

Post a Comment

4 Comments